Data Bicara, Toleransi di Kota-Kota Kita Masih Rentan Terbisu

- Jurnalis

Jumat, 20 Juni 2025 - 14:58 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh : Afidatul Asmar (Ketua Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Parepare)

TRISAKTINEWS.COM — Dalam dunia yang semakin digital, keheningan bisa lebih nyaring daripada teriakan. Inilah temuan mencemaskan dari riset mutakhir Laboratorium SDGs, Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam IAIN Parepare. Dengan menelusuri jejak data dari 98 kota di Indonesia selama lima tahun terakhir, riset ini menemukan bahwa lebih dari 75% kombinasi kata kunci “kerukunan” dan nama kota tidak meninggalkan jejak di pencarian digital maupun media daring.

Lalu kita bertanya: ke mana perginya suara toleransi?

Temuan ini bukan sekadar statistik; ia adalah cermin. Kota-kota besar seperti Yogyakarta, Bandung, dan Makassar memang dominan dalam jumlah liputan. Namun ironisnya, justru memiliki sentimen positif yang rendah. Sebaliknya, kota-kota kecil seperti Tomohon, Sibolga, dan Singkawang menunjukkan kualitas sentimen yang lebih baik, meskipun hampir tak terdengar gaungnya di ruang digital.

Paradoks ini menyisakan pelajaran penting: kerukunan hidup, tapi tak terdengar.

Kita hidup di era algoritma. Apa yang tak muncul di mesin pencari, seolah tak pernah ada. Maka saat Google Trends memperlihatkan bahwa 75% kata kunci terkait toleransi tidak dicari orang, kita dihadapkan pada krisis kesadaran digital. Semangat Bhinneka Tunggal Ika kini terancam tenggelam dalam senyapnya perhatian publik.

Baca Juga :  Sinergi Ideologi Environmentalisme: Membangun Masa Depan Berkelanjutan untuk Peradaban Global

Yang kita butuhkan hari ini bukan hanya seruan damai dalam forum-forum formal, tetapi pengarusutamaan narasi toleransi dalam ekosistem digital. Tagar seperti #KerukunanMakassar, #ToleransiParepare, atau #FestivalLintasAgamaPalopo jangan hanya jadi hiasan kampanye musiman, tapi perlu dimaknai sebagai vaksin sosial untuk menangkal intoleransi yang bergerak diam-diam.

Pemerintah daerah, kampus, media lokal, dan komunitas lintas agama harus bersinergi. Dunia akademik perlu keluar dari menara gading, masuk ke percakapan publik, dan mengisi Google dengan narasi damai. Pemerintah perlu mengalokasikan anggaran tidak hanya untuk meredam konflik, tapi juga membangun konten positif dan menguatkan literasi digital kerukunan.

Catatan untuk Makassar, Parepare, dan Palopo

Coba ketik “dialog antaragama Parepare” atau “festival lintas agama Palopo” di Google. Hasilnya? Kemungkinan besar nihil. Tapi bukan berarti kota-kota itu minim semangat toleransi — mereka hanya kalah narasi.

Riset dari Laboratorium SDGs IAIN Parepare menunjukkan bahwa Makassar berada di urutan kedelapan dalam jumlah liputan media soal kerukunan — cukup tinggi. Namun, sentimen positifnya rendah. Banyak berita, tapi minim optimisme. Seperti pesta besar yang dipenuhi keluhan.

Sebaliknya, Parepare dan Palopo punya sentimen positif di atas 2% — sebuah skor yang menandakan kualitas pemberitaan yang optimis. Sayangnya, intensitasnya sangat minim. Parepare hanya menyumbang 5% dari total liputan nasional soal kerukunan, sedangkan Palopo lebih tragis lagi: hanya 1,6%.

Baca Juga :  Penghujung Ramadan: Bulan Penuh Berkah dan Kemeriahan Menyambut Idul Fitri

Inilah yang disebut “paradoks kerukunan”: kota yang tenang dan damai justru jarang diberitakan, sementara kota yang gaduh justru mendapat panggung utama.

Makassar punya modal kuat: infrastruktur media, jaringan kampus, serta komunitas lintas iman yang aktif. Tapi ini semua harus dibarengi dengan peliputan yang mendorong narasi positif, bukan sekadar mengejar sensasi konflik atau kontroversi elite.

Sementara itu, Parepare dan Palopo punya kekuatan akar rumput yang luar biasa. Ada IAIN Parepare, UIN Palopo, dan komunitas lintas iman yang aktif. Namun sayangnya, kegiatan mereka masih tersekat di ruang aula atau grup WhatsApp — belum menembus ruang digital nasional, bahkan algoritma lokal.

Mari Bersama Menyuarakan Damai

Untuk Makassar: dorong media dan pemkot mengangkat narasi positif. Ajak jurnalis lokal, mahasiswa, dan pegiat media sosial untuk menulis dan mendokumentasikan praktik baik toleransi.

Untuk Parepare dan Palopo: jangan minder. Bangun jejaring dengan media, buat podcast, vlog, artikel populer — dan pastikan setiap kegiatan positif meninggalkan jejak digital. Sebab, kota damai yang tak terdengar tak akan pernah diperhitungkan dalam kebijakan nasional.

Karena pada akhirnya, di zaman digital ini, bukan yang paling damai yang didengar, tapi yang paling mampu berbicara.

Berita Terkait

Industrialisasi Mengubah Sepak Bola Dari Tontonan Menjadi Konten
Kekerasan Literasi Di Tengah Hegemoni Media Sosial
Masyarakat Komentar: Menyiarahi Kritik Tom Nichols Sebagai Tafsir Sosial atas Matinya Kepakaran
Kartini dan Pemberdayaan Perempuan Indonesia
Masyarakat Madani Sebagai Platform Indonesia Mengahapus Penjajahan Diatas Dunia : Diplomasi Prabowo Merajut Solidaritas Dunia Islam
Ramadan Usai, Saatnya Beraksi: Mengukir Manfaat Sosial Nyata
Perpisahan dengan Ramadan: Memaknai Kehilangan Kebaikan
Penghujung Ramadan: Bulan Penuh Berkah dan Kemeriahan Menyambut Idul Fitri
Berita ini 7 kali dibaca

Berita Terkait

Jumat, 20 Juni 2025 - 14:58 WITA

Data Bicara, Toleransi di Kota-Kota Kita Masih Rentan Terbisu

Rabu, 4 Juni 2025 - 16:45 WITA

Industrialisasi Mengubah Sepak Bola Dari Tontonan Menjadi Konten

Rabu, 21 Mei 2025 - 14:48 WITA

Kekerasan Literasi Di Tengah Hegemoni Media Sosial

Sabtu, 17 Mei 2025 - 13:36 WITA

Masyarakat Komentar: Menyiarahi Kritik Tom Nichols Sebagai Tafsir Sosial atas Matinya Kepakaran

Senin, 21 April 2025 - 13:52 WITA

Kartini dan Pemberdayaan Perempuan Indonesia

Berita Terbaru