Oleh : Andi Geerhand (Alumnus Pandai Besi HMI)
TRISAKTINEWS.COM – HMI sebagai mata rantai gerakan pembaharuan di Indonesia, akhir-akhir ini seakan tidak menampakkan lagi ide dan gagasan yang cemerlang untuk melakukan pembaharuan dalam berbagai pemikiran dan aksi. Salah satu poin yang jauh hari telah disampaikan Agussalim Sitompul dalam buku 44 Indikator Kemunduran HMI. Sejak berdiri pada tanggal 5 Februari 1947, HMI memang telah melahirkan banyak intelektual, pemikir, dan aktivis yang memiliki andil besar dalam perjalanan bangsa. Namun, menjelang satu abad keberadaannya, kita perlu mengajukan pertanyaan mendasar: Apakah HMI masih setia pada ruh perjuangannya atau justru terjebak dalam pragmatisme dan kehilangan daya kritis terhadap permasalahan umat dan bangsa?
Organisasi yang dulunya menjadi kawah candradimuka bagi Intelektual Muslim kini mulai kehilangan tajinya dalam perdebatan wacana besar kebangsaan dan keuumatan. Banyak kader yang cenderung pragmatis dan menghindari pemikiran yang kritis serta reflektif sehingga diskursus yang berkembang di tubuh HMI lebih banyak berkutat pada dinamika internal organisasi, bukan pada pemikiran transformatif yang membangun masa depan bangsa. Kehilangan daya kritis ini semakin nyata ketika HMI tampak gamang dalam merespons isu-isu fundamental seperti krisis demokrasi, eksploitasi sumber daya alam dan permasalahan lainnya yang menjadi akar permasalahan.
Kemunduran ini sejatinya tidak lepas dari lemahnya metode perkaderan HMI yang semakin kehilangan relevansi dengan perkembangan zaman. Minimnya pembaruan dalam materi dan metode perkaderan menjadikan kader-kader HMI sulit beradaptasi dengan wacana kontemporer. Perkaderan yang seharusnya menjadi proses pembentukan intelektual dan moral kader, kini lebih sering terjebak dalam rutinitas administratif tanpa ruh ideologis yang kuat. Salah satu persoalan utama dalam metode perkaderan HMI saat ini adalah ketidaksesuaian antara materi yang diajarkan dengan realitas sosial dan tantangan zaman. Pelaksanaan perkaderan yang masih menggunakan pendekatan lama dan kurang relevan dengan perubahan cepat di era digital dan globalisasi mengakibatkan kader-kader yang dihasilkan tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk merespons isu-isu besar.
Selain itu, kelemahan metode perkaderan juga terlihat dari lemahnya kemampuan analisis kritis kader terhadap isu-isu strategis. Proses kaderisasi yang lebih berorientasi pada formalitas membuat kader kurang terbiasa dengan dialektika dan perdebatan intelektual yang tajam. Alih-alih melahirkan intelektual organik yang mampu menawarkan solusi bagi permasalahan bangsa, kader HMI lebih banyak terjebak dalam pola pikir dogmatis dan doktrinal yang membatasi ruang eksplorasi intelektual mereka.
Lemahnya metode perkaderan juga berdampak pada minimnya pemimpin visioner yang dihasilkan oleh HMI. Dalam sejarahnya, HMI selalu menjadi kawah lahirnya pemimpin-pemimpin besar yang memiliki visi dan integritas. Namun, saat ini kita menyaksikan semakin langkanya figur-figur inspiratif dari HMI yang mampu membawa perubahan signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa metode perkaderan tidak hanya membutuhkan penyegaran dalam aspek materi, tetapi juga dalam pendekatan pembelajaran yang lebih interaktif, berbasis riset, dan adaptif terhadap perkembangan zaman.
Untuk itu, mewajahi dan menjiwai HMI bukan sekadar upaya untuk menghidupkan kembali kebesaran organisasi ini dalam sejarah gerakan intelektual Islam di Indonesia. Melaikan sebuah ikhtiar untuk mengokohkan kembali perannya dalam membangun umat dan bangsa. HMI lahir dengan cita-cita besar untuk mengembangkan intelektualitas Islam yang progresif serta menjadi garda terdepan dalam membangun peradaban bangsa yang berlandaskan ke-Islaman dan ke-Indonesiaan.
Mewajahi HMI berarti mengembalikan ruh perjuangan yang pernah menjadi jati diri organisasi. HMI tidak boleh sekadar menjadi simbol historis tanpa makna substantif dalam kehidupan umat dan bangsa. Gerakan intelektual dan kritis harus kembali menjadi karakter utama kader-kadernya. HMI harus menjadi rumah bagi lahirnya gagasan-gagasan besar yang mampu menjawab tantangan zaman, bukan sekadar wadah bagi kepentingan pragmatis sesaat.
Pun, menjiwai HMI bukan hanya sekadar mengenang sejarah kebesaran atau mempertahankan tradisi semata. Melainkan komitmen untuk merevitalisasi nilai-nilai dasar organisasi dalam membangun bangsa yang beradab dan bermartabat. HMI harus kembali mengokohkan dirinya sebagai kekuatan moral yang mampu memberikan kritik dan solusi bagi berbagai persoalan keummatan dan kebangsaan. Tidak ada lagi ruang bagi kader yang hanya mengejar kepentingan pribadi atau terjebak dalam kepentingan politik sesaat tanpa membawa manfaat bagi umat.
Pada akhirnya, menjelang satu abad HMI di usianya yang saat ini telah memasuki 78 tahun. Sudah saatnya HMI melakukan evaluasi besar-besaran terhadap peran, komitmen dan arah perjuangannya. Jika HMI ingin tetap menjadi pilar penting dalam kehidupan intelektual dan sosial bangsa, maka nilai-nilai perjuangan harus dikembalikan ke tempat semestinya. Independensi, keberanian bersikap, serta integritas moral harus menjadi karakter utama setiap kader, bukan sekadar retorika tanpa tindakan. Karena HMI bukan hanya tentang sejarah, tetapi juga tentang masa depan. Masa depan yang hanya bisa diwujudkan jika kader-kadernya memiliki jiwa perjuangan yang kuat, berlandaskan nilai keislaman, serta keberpihakan nyata pada kepentingan rakyat. Jika tidak, satu abad HMI hanya akan menjadi perayaan kosong tanpa makna perubahan. (*)