oleh: Muh. Asmar Hidayat (Komunitas Literasi RUMI)
TRISAKTINEWS.COM — Di tengah derasnya gelombang informasi yang membanjiri setiap jari dan layar, manusia seolah terikat dalam tali tak berujung antara kata dan gambar. Informasi yang melimpah, menjadikan kita seolah terhubung secara konstan dengan segala bentuk pengetahuan.
Media sosial yang menjadi ruang utama perjumpaan, percakapan, dan bahkan perdebatan. Lewat ledakan digital yang tiada henti, kita justru kehilangan keteduhan untuk berpikir. Kita tidak lagi singgah pada bait-bait atau paragraf yang memerlukan penyingkapan. Yang dikejar adalah kecepatan bukan kedalaman, yang dicari adalah viralitas bukan validitas, yang diperdengarkan adalah eksistensi bukan esensi.
Literasi yang sejatinya sebagai lentera penuntun dalam kebebasan berpikir dan jendela menuju pemahaman kritis, kini terkapar lemah, tersisih oleh derasnya arus kesembronoan dan kegesitan jari-jemari tanpa melalui proses renungan. Buku adalah taman tempat pikiran-pikiran dapat tumbuh dan mekar.
Kemunduran literasi adalah luka sunyi di zaman yang gemar berteriak, bukan sekedar tentang menurunnya minat baca. Akan tetapi terdegradasinya kualitas berpikir, kemunduran daya analitis, dan melemahnya kesadaran kritis.
Fenomena ini bukan sekadar perubahan gaya hidup, melainkan ada suatu bentuk kekuatan gelap yang meredupkan cahaya literasi. Kekuatan tersebut menjelma menjadi kekerasan yang bekerja secara halus, yakni “kekerasan literasi”.
Untuk memahami maksud dari kekerasan literasi, saya akan sedikit menyajikan konsep “kekerasan budaya” yang dikemukakan oleh Johan Galtung. Menurutnya, terdapat kekerasan yang tak berdarah namun mematikan secara perlahan. Galtung menjelaskan bahwa kekerasan tidak selalu hadir dalam bentuk fisik atau langsung.
Lanjutnya bahwa kekerasan itu bersembunyi di dalam simbol, bahasa, dan norma sosial. Kekerasan tersebut melegitimasi struktur yang timpang dan menindas tanpa perlu kekuatan senjata, menyusup ke dalam kebiasaan, ke dalam apa yang dianggap “normal,” dan akhirnya membentuk kesadaran kolektif yang seolah tak bisa digugat.
Dalam konteks kekinian, kekerasan itu menjelma dalam bentuk kekerasan literasi. Kekerasan yang bekerja dengan cara mengaburkan makna literasi itu sendiri. Bersembunyi di balik layar-layar ponsel yang memancarkan cahaya redup, melemahkan kekuatan kritis dan memundurkan pustaka epistemologi. Literasi telah direduksi menjadi sekadar keterampilan teknis membaca dan menulis.
Dalam masyarakat digital yang dikuasai oleh algoritma dan konten viral, kedalaman berpikir digantikan oleh kecepatan berpendapat. Narasi mendalam tersingkirkan oleh deru cepat melempar meme, jokes dan gambar, sementara ruang untuk berdiam dan merenung menguap bagai kabut pagi. Fenomena seperti itu mengakibatkan kemampuan untuk menyaring informasi, menganalisis narasi, dan mempertanyakan wacana dominan menjadi semakin langka.
Hegemoni media sosial berdansa dengan algoritma yang tak terlihat, menganyam jaring-jaring ilusi dan kenyamanan semu. Antonio Gramsci menjelaskan bahwa kekuasaan hegemonik bukan soal dominasi fisik, tetapi tentang kemampuan untuk membentuk cara berpikir masyarakat melalui konsensus budaya. Seperti dalang di balik tirai, algoritma menghipnotis mata dan telinga, bukan sebagai kebenaran yang utuh. Dalam hal ini, masyarakat digiring menjadi penonton pasif, bahwa informasi hanyalah tontonan sesaat tanpa makna.
Kekerasan literasi merasuk ke dalam nadi kehidupan sosial, melemahkan kemampuan untuk menyaring dan mencari makna. Bahasa, yang seharusnya menjadi jembatan antara jiwa dan dunia, berubah menjadi isyarat-isyarat singkat yang hanya terpaku pada yang lahiriah saja. Ruang publik yang dulu penuh dengan perdebatan hangat, kini tereduksi menjadi kerumunan tanpa arah. Literasi sebagai alat pembebasan telah dibungkam oleh kekuasaan simbolik yang tersembunyi.
Namun, di balik gelap yang pekat ini, masih ada secercah harapan. Pengarusutamaan literasi mesti menjadi bara api, sebagai kunci untuk membaca dunia dengan segala kompleksitasnya. Sebagai gerakan kultural yang menembus batas-batas sektoral. Literasi adalah perlawanan sunyi yang memanggil kita untuk melihat, bertanya, dan menolak segala bentuk penindasan kognitif.
Membaca sebagai energi peradaban, menulis sebagai nyanyian kebebasan, dan berpikir menjadi jalan menuju kemerdekaan. Di tengah kekuasaan media sosial yang menggenggam erat, kita terpanggil untuk memutus belenggu dengan kata dan pikiran. Sebab, hanya dengan itu, kita dapat menemukan kembali hakikat kebebasan_bukan sekadar menerima apa yang disajikan, tetapi membongkar, menggugat, dan mencipta.
Maka, di tengah gempuran konten yang meninabobokan dan informasi yang membanjiri tanpa makna, marilah kita kembali merawat literasi. Sekalipun virus konten merembes tanpa henti, berliterasi adalah upaya sadar untuk tidak terombang-ambing oleh arus, tapi berdiri teguh dengan kompas akal sehat.
Bahwa suatu perubahan kecil dalam kebiasaan sehari-hari dapat membuat kita tiba di sasaran yang sangat berbeda. Membuat pilihan yang 1% lebih baik atau 1% lebih buruk terkesan tak bermakna pada suatu saat, tapi dalam rentang waktu panjang, pilihan-pilihan tersebut menentukan perbedaan antara siapa kita sekarang dan siapa kita nanti.
Maka dari itu, dorongan kesadaran di dalam internal diri sendiri adalah pondasi awal dalam memulai perubahan itu.
Akhir kata, menulis adalah salah satu jalan ninjaku. maka daripada itu menulislah, karena tanpa menulis engkau akan hilang dari pusaran sejarah.