Oleh : Irzandi Ali (Penulis Buku 24/7 Sepak Bola)
TRISAKTINEWS.COM — Laga final yang membosankan, final yang mengecewakan, begitulah komentar-komentar yang terlihat di media sosial usai pertandingan Paris Saint-Germain berhadapan dengan Inter Milan di babak final Liga Champions 2024/2025, Minggu (1/6). Bagaimana tidak para penikmat sepak bola merasa final tahun ini anti-klimaks, pertandingan yang digadang-gadang akan berlangsung sengit nyatanya easy win diraih oleh Paris Saint-Germain, menang telak 5-0.
Pertandingan yang membosankan? Kita boleh bertanya bukankah sesuatu yang terlalu sering disajikan juga akan membosankan seperti tayangan sepak bola rasa-rasanya tak ada jeda. Saat segalanya jadi lebih industri, sepak bola menjadi hiburan bukan lagi sebatas pertandingan. Inilah yang membuat pemangku kepentingan terus berusaha membuat banyak pertandingan, mengubah format lama kompetisi dengan format baru misalnya Liga Champions, ada penambahan peserta yang artinya menambah jumlah pertandingan, atau membuat kompetisi baru, Piala Konfrensi dan Piala Dunia Antar-Klub.
Terlalu banyak pertandingan yang ditayangkan membuat sepak bola menjadi gameful ketimbang playful, industri mendorong konsumersime untuk terus menonton pertandingan sepak bola, sementara pemain dipaksa terus bermain, manusia sebagai atlet punya keterbatasan fisik, mereka bisa juga lelah, mereka bukan mesin yang bisa terus-menerus diberikan intruksi untuk menjalankan perintah.
Jika saja kita melempar hipotesa, kenapa final Liga Champions membosankan dengan menyajikan pertandingan yang mengecewakan, pemain Inter rata-rata usia 30-an tahun ke atas mengikuti banyak turnamen baik di liga domestik dan liga non domestik, sementara Paris Saint-Germain pemain mereka diisi mayoritas pemain muda, rata-rata usia 20-an tahun ke atas. Tentu ada tantangan tersendiri untuk terus tampil dalam kondisi prima setelah melewati banyak pertandingan? Sementara bagi penonton sudah berapa banyak pertandingan yang mereka saksikan dalam semusim, apa tidak ada kejenuhan?
Kenapa sepak bola dibuat terlalu banyak pertandingan, karena ada kekhawatiran bahwa sepak bola akan ditinggalkan apabila tidak ditayangkan sesering mungkin dan dekat dengan pemirsa. Anak usia 16-24 tahun, 40 persen dari mereka diperkirakan tidak tertarik dengan sepak bola. Mengapa? Karena banyak menyajikan pertandingan yang berkualitas rendah, dan mereka kini memilih platform hiburannya lainnya.
Hal tersebut mendasari keinginan presiden Real Madrid Florentino Perez dan Pemilik Juventus Andrea Agnelli untuk membuat kompetisi Super League pada tahun 2021. Pembentukan Super League sebagai cara untuk menarik Generasi Z (yang didefinisikan sebagai orang-orang yang lahir antara tahun 1997-2012) untuk terus menikmati sepak bola sebagai hiburan teratas mereka.
Dalam lanskap dunia industrialisasi, sepak bola (baca: produksi) sebagai pasar saat ini dinikmati oleh ragam penonton (baca:konsumen) punya berbagi perspektif lalu kemudian memutuskan memiliki/menikmati sebuah produk, Ekonom Philip Kotler mengidentifikasi dalam sebuah pasar diisi berbagai jenis konsumen mulai dari generasi Baby Boomers, Gen X, Gen Y atau milenial dan Gen Z yang masuk ke dalam ceruk pasar.
Pertandingan sepak bola dinikmati lintas generasi, semua generasi punya cara menikmati sepak bola. Dahulu karena tidak adanya akses untuk menonton pertandingan mereka mesti datang langsung ke stadion untuk menyaksikan sepak bola, lalu kemudian muncul radio disusul televisi orang-orang menikmati sepak bola sudah memiliki akses tanpa harus datang ke stadion. Pada titik ini cara menikmati sepak bola mengalami pergeseran, membuka ruang untuk sepak bola terindustrilisasi. Sepak bola menjadi tayangan yang tak henti-hentinya di sodorkan kepada penonton agar hasrat mereka terpuaskan.
Sepak bola dari tontonan menjadi tayangan kini tiba di mana kita terpuaskan menyaksikan sepak bola melalui potongan-potongan konten yang bejibun melintasi lini masa media sosial kita. Industri yang semakin menghebat memungkinkan pertandingan sepak bola dapat ditonton setiap hari bahkan setiap saat, konten yang dimuat bisa berupa pertandingan utuh, highlight pertandingan, cuplikan kejadian seru, atau aksi keterampilan mengolah si kulit bundar lewat di TikTok dan di Reels. Begitu berbeda, menonton sepak bola tak lagi butuh jam-jam tertentu atau hari-hari tertentu untuk terpuaskan.
Penggemar Gen Z mayoritas memiliki kecenderungan
itu dalam menyaksikan sepak bola, mereka diasumikan tidak mendukung sebuah klub melainkan mengidolai seorang individu pemain karena dipengaruhi algoritma media sosial mereka, Kita sering diberi tahu bahwa Gen Z tidak memiliki rentang perhatian untuk menonton pertandingan selama 90 menit dan lebih suka paket sorotan lima menit di YouTube, bahwa mereka kurang bergairah pergi ke stadion dan malah memilih streaming di televisi atau ponsel mereka. Atau jika mereka berhasil sampai ke stadion, mereka terlalu sibuk mengambil foto narsis dan merekam untuk menikmati momen itu.
Sebuah upaya klub menarik Gen Z tidak meninggalkan sepak bola terus dilakukan. Mereka beradaptasi dengan kecenderungan mereka dalam menikmati sesuatu, klub mencoba mengintegrasikan identitas dan pemain mereka ke media sosial agar terhubung lebih dekat. Ragam konten dibuat sebanyak mungkin lalu diunggah di media sosial, mulai dari aktivitas latihan, perayaan kemenangan dan aksi pemain di lapangan di sorot sebanyak mungkin. Maka tidak heran klub sepak bola seperti Barcelona terus menyajikan aksi individu pemain seperti Rapinha dan Lamine Yamal yang diunggah di media sosial mereka, Reels Instagram dan TikTok agar hasrat penonton terpuaskan. Mereka tak lagi butuh pertandingan utuh dan tak perlu menukar waktu mereka selama 90 menit untuk sepak bola.
Pemain tidak hanya sekadar wajah di lapangan; mereka adalah merek, yang memanfaatkan platform media sosial mereka untuk terhubung dengan penggemar melalui konten yang diproduksi. Sekilas di balik layar, rutinitas latihan dan aktivitas pemain dibagikan memberikan penggemar akses yang belum pernah ada sebelumnya kepada idola mereka, menumbuhkan rasa keintiman dan kesetiaan dan sering kali menghasilkan hubungan yang kuat antara penggemar dan pemain dibanding klub sepak bola sendiri. Inilah salah satu perkembangan yang paling menonjol, konten yang dipimpin atlet.
Potensi besar tersebut memungkinkan mereka untuk membangun audiens global, memonetisasi konten mereka dan membuka peluang untuk mendapatkan sponsor. Bagi klub, menggabungkan konten yang berfokus pada atlet ke dalam strategi media sosial mereka sangat penting untuk tetap relevan, menarik pemirsa baru dan mempertahankan keterhubungan penggemar yang ada.
Ke depan sepak bola akan tetap sama secara permainan tapi cara menikmatinya yang berbeda sebagai penonton. Sepak bola yang telah melintasi berbagai generasi membuat tak ada lagi segregasi atau pengkota-kotakan antara penonton sepak bola dulu dan kini karena semua sudah memiliki akses yang sama. Menonton sepak bola tak lagi menjadi sakral karena bisa dinikmati kapan saja, mungkin hanya ada satu kekhawatiran bahwa sepak bola tak lagi menarik karena para penonton sudah sampai pada titik jenuh.