Oleh : SYIFAUL HUZNI ( Peserta LK III HMI BADKO Jawa Timur)
TRISAKTINEWS.COM – Strategi branding potensi daerah merupakan langkah kunci dalam mengembangkan sektor pariwisata, yang pada gilirannya dapat mendukung pertumbuhan ekonomi daerah. Branding yang efektif tak hanya menciptakan citra positif, tetapi juga mampu menarik wisatawan, investor, dan pelaku bisnis. Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) adalah dua daerah di Indonesia dengan potensi pariwisata yang besar, meskipun keduanya menerapkan pendekatan branding yang berbeda. Aceh dikenal dengan wisata religi dan alamnya, sedangkan Sumut menonjolkan Danau Toba sebagai daya tarik utama. Kedua daerah ini menunjukkan bahwa strategi branding yang tepat dapat memengaruhi jumlah kunjungan wisatawan dan kontribusinya terhadap perekonomian daerah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2022, kontribusi sektor pariwisata terhadap PDRB Sumut mencapai 8,5%, sementara Aceh hanya 5,2%. Perbedaan ini mencerminkan pentingnya strategi branding yang terintegrasi dan berkelanjutan.
Aceh memiliki potensi wisata yang besar, terutama dalam hal wisata religi dan alam. Sebagai Serambi Mekah, Aceh memiliki berbagai destinasi ikonik, seperti Masjid Raya Baiturrahman, Pulau Weh, dan Sabang. Meskipun demikian, data dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menunjukkan bahwa kunjungan wisatawan ke Aceh pada 2022 hanya sekitar 1,2 juta orang, jauh di bawah target yang ditetapkan. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya promosi yang efektif dan terintegrasi. Sebagai perbandingan, Sumut dengan Danau Toba telah berhasil menarik lebih dari 3,5 juta wisatawan pada tahun yang sama. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa branding yang kuat dan konsisten dapat meningkatkan daya tarik wisatawan.
Sumut telah berhasil membangun branding yang kuat melalui fokus pada Danau Toba, yang kini dikenal sebagai destinasi wisata kelas dunia. Pemerintah Sumut, bekerja sama dengan pemerintah pusat, menggalakkan program seperti “Visit Lake Toba 2023” dan membangun infrastruktur pendukung, seperti bandara dan jalur transportasi yang memadai. Data Dinas Pariwisata Sumut mencatat adanya peningkatan investasi di sektor pariwisata sebesar 20% pada 2022. Selain itu, Sumut juga memanfaatkan media digital untuk memperkenalkan Danau Toba kepada pasar internasional. Sementara itu, Aceh masih kurang memanfaatkan platform digital untuk mempromosikan potensi wisata mereka, padahal media sosial merupakan alat yang efektif untuk menjangkau wisatawan muda dan internasional.
Kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat di Sumut turut menjadi faktor penting dalam kesuksesan branding daerah. Pelaku usaha di sekitar Danau Toba didorong untuk menyediakan akomodasi dan layanan berkualitas, sementara masyarakat lokal dilibatkan dalam berbagai kegiatan pariwisata, seperti festival budaya. Berdasarkan data Kementerian Pariwisata, tingkat kepuasan wisatawan di Danau Toba tercatat mencapai 85% pada 2022. Sebaliknya, Aceh masih menghadapi tantangan dalam membangun kolaborasi yang solid antara pemerintah dan masyarakat. Kurangnya partisipasi aktif masyarakat dalam kegiatan pariwisata menjadi salah satu faktor penghambat pengembangan branding Aceh.
Inovasi dalam pengembangan produk dan layanan juga menjadi pembeda antara kedua provinsi. Sumut telah berhasil menawarkan paket wisata yang beragam, mulai dari wisata alam, budaya, hingga kuliner, yang menarik berbagai segmen wisatawan. Festival Danau Toba yang digelar setiap tahun, sebagai contoh, telah menjadi ajang promosi budaya Batak dan produk lokal. Pada 2022, festival ini berhasil menarik lebih dari 100.000 pengunjung. Sebaliknya, Aceh masih terfokus pada wisata religi dan alam, tanpa banyak menawarkan inovasi dalam menciptakan pengalaman wisata yang beragam. Hal ini membuat Aceh kurang kompetitif jika dibandingkan dengan daerah lain yang menawarkan destinasi lebih bervariasi.
Keberlanjutan menjadi prinsip yang diterapkan Sumut dalam pengembangan branding daerah. Pemerintah Sumut mengimplementasikan kebijakan pelestarian lingkungan dan budaya, salah satunya dengan membatasi jumlah wisatawan yang berkunjung ke Danau Toba untuk mencegah kerusakan alam. Kualitas air Danau Toba, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menunjukkan perbaikan yang signifikan dalam tiga tahun terakhir. Di sisi lain, Aceh masih menghadapi tantangan terkait keberlanjutan, terutama dalam pengelolaan sampah dan kerusakan lingkungan di destinasi wisata alam. Pengelolaan yang buruk ini dapat merusak citra Aceh sebagai destinasi wisata yang ramah lingkungan.
Dukungan dari pemerintah pusat juga menjadi faktor penting dalam keberhasilan branding Sumut. Program “10 Bali Baru” yang digagas oleh Kementerian Pariwisata memprioritaskan Danau Toba sebagai salah satu destinasi utama. Hal ini membawa dampak positif bagi Sumut, seperti peningkatan anggaran promosi dan pembangunan infrastruktur. Pada 2022, anggaran promosi untuk Danau Toba meningkat 30%. Sementara itu, Aceh belum mendapatkan perhatian yang sama dari pemerintah pusat, yang menghambat upaya promosi dan pengembangan infrastruktur.
Pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat lokal juga menjadi pembeda antara kedua provinsi. Sumut telah meluncurkan berbagai program pelatihan bahasa asing dan keterampilan pariwisata bagi masyarakat sekitar Danau Toba, yang berkontribusi pada peningkatan kualitas layanan dan kepuasan wisatawan. Sebaliknya, Aceh masih kurang dalam hal pemberdayaan masyarakat lokal. Banyak potensi yang belum tergali dengan optimal, dan ini menghambat pengembangan pariwisata daerah.
Evaluasi dan adaptasi strategi branding menjadi kunci keberhasilan di Sumut. Pemerintah Sumut secara rutin mengevaluasi efektivitas strategi branding mereka dan menyesuaikan pendekatan berdasarkan perubahan tren wisatawan. Misalnya, setelah mengidentifikasi minat wisatawan muda yang lebih tertarik pada pengalaman budaya, Sumut mengembangkan paket wisata budaya yang lebih interaktif. Hal ini berhasil meningkatkan kunjungan wisatawan muda sebesar 15% pada 2022. Sementara itu, Aceh belum menunjukkan komitmen yang sama dalam melakukan evaluasi dan penyesuaian rutin pada strategi branding mereka, yang membuat pendekatan mereka cenderung stagnan.
Melihat perbandingan antara Aceh dan Sumut, jelas bahwa strategi branding yang efektif memerlukan pemahaman akan potensi unik daerah, kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat, pemanfaatan teknologi, inovasi dalam produk dan layanan, serta keberlanjutan. Sumut telah menunjukkan bagaimana penerapan strategi ini dapat berdampak positif pada ekonomi daerah. Sementara itu, Aceh masih perlu berusaha lebih keras untuk mengoptimalkan potensi pariwisatanya. Dengan strategi yang tepat, Aceh berpotensi mengejar ketertinggalan dan menjadi destinasi wisata yang kompetitif di tingkat nasional dan internasional.