Oleh : Ismail Suardi Wekke (Cendekiawan Muslim Indonesia)
TRISAKTINEWS.COM – Senja itu, langit Jakarta tampak sendu. Awan kelabu berarak perlahan, seolah ikut merasakan kesedihan yang menyelimuti hati banyak orang.
Ramadan, bulan suci yang penuh berkah, akan segera pergi. Bukan kepergian biasa, ini adalah perpisahan dengan kebaikan yang selama sebulan penuh telah menemani.
Di setiap sudut kota, masjid-masjid mulai sepi. Tak ada lagi suara merdu tadarus yang menggema hingga larut malam. Tak ada lagi antrean panjang orang-orang yang berbuka puasa bersama.
Jalanan pun tak lagi dipenuhi pedagang takjil yang menjajakan dagangannya. Semua kembali pada rutinitas biasa, meninggalkan jejak-jejak kebaikan Ramadan yang masih terasa hangat.
Kita teringat malam-malam panjang yang kuhabiskan untuk salat tarawih. Rasa kantuk dan lelah seolah sirna oleh semangat kebersamaan dan kekhusyukan.
Aku juga ingat betapa nikmatnya berbagi takjil dengan sesama, melihat senyum bahagia di wajah mereka yang menerimanya. Semua itu adalah momen-momen indah yang kini hanya tinggal kenangan.
Namun, Ramadan bukan hanya tentang ibadah ritual. Lebih dari itu, Ramadan adalah tentang transformasi diri. Tentang bagaimana kita belajar menahan diri, mengendalikan hawa nafsu, dan meningkatkan kepedulian terhadap sesama.
Ramadan adalah sekolah kehidupan yang mengajarkan kita tentang arti kesabaran, keikhlasan, dan syukur.
Kini, Ramadan akan segera berlalu. Namun, pelajaran-pelajaran yang kudapatkan selama bulan suci itu tidak boleh ikut berlalu.
Kita perlu berusaha menjaga semangat kebaikan yang telah kutanam, menyiraminya dengan amal saleh, dan menjadikannya bagian dari diriku yang utuh.
Perpisahan dengan Ramadan memang menyedihkan, tetapi bukan berarti kita harus larut dalam kesedihan. Kita harus jadikan momen ini sebagai titik awal untuk menjadi pribadi yang lebih baik, pribadi yang senantiasa menebar kebaikan di setiap langkah.
Seperti kata pepatah, “Habis Ramadan terbitlah Syawal.” Syawal adalah bulan kemenangan, bulan di mana kita merayakan keberhasilan kita dalam menahan diri dan meningkatkan kualitas diri selama Ramadan.
Namun, kemenangan sejati bukanlah tentang baju baru atau hidangan lezat. Kemenangan sejati adalah tentang bagaimana kita mampu menjaga konsistensi dalam berbuat baik, bahkan setelah Ramadan berlalu.
Mari kita jadikan setiap hari setelah Ramadan sebagai Ramadan-Ramadan kecil dalam hidup kita. Mari kita teruskan kebiasaan baik yang telah kita lakukan selama Ramadan, seperti salat malam, membaca Alquran, bersedekah, dan menjaga silaturahmi.
Semoga Allah SWT menerima amal ibadah kita selama Ramadan dan memberikan kita kekuatan untuk terus istiqomah di jalan-Nya. Selamat tinggal Ramadan, semoga kita bertemu lagi di tahun depan.
Ketika Ramadan Berlalu: Perasaan Kehilangan dan Refleksi Spiritual
Kepergian Ramadan selalu menyisakan perasaan kehilangan yang mendalam. Selama sebulan penuh, kita telah menjalani rutinitas yang berbeda, diisi dengan ibadah, refleksi, dan kebersamaan.
Kini, saat Ramadan berlalu, kita kembali pada rutinitas biasa, namun dengan hati yang mungkin terasa hampa. Perasaan kehilangan ini bukan sekadar nostalgia, tetapi juga refleksi akan hilangnya kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Ramadan adalah madrasah spiritual, tempat kita belajar mengendalikan diri, meningkatkan empati, dan memperkuat hubungan dengan Allah SWT. Rutinitas ibadah yang intens, seperti salat tarawih, tadarus Alquran, dan sedekah, membentuk pola hidup yang lebih teratur dan bermakna.
Kepergian Ramadan berarti berakhirnya rutinitas tersebut, dan kita dihadapkan pada tantangan untuk menjaga konsistensi ibadah di bulan-bulan selanjutnya.
Perasaan kehilangan ini juga terkait dengan hilangnya atmosfer kebersamaan yang khas Ramadan. Buka puasa bersama, salat berjamaah, dan kegiatan sosial lainnya menciptakan ikatan emosional yang kuat antar sesama Muslim.
Kepergian Ramadan membuat kita merindukan momen-momen tersebut, dan menyadari pentingnya menjaga silaturahmi di luar bulan suci.
Namun, kepergian Ramadan bukanlah akhir dari segalanya. Ini adalah awal dari fase baru, di mana kita dituntut untuk mengaplikasikan pelajaran-pelajaran yang telah kita dapatkan.
Refleksi spiritual selama Ramadan seharusnya memotivasi kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik, lebih sabar, lebih peduli, dan lebih dekat kepada Allah SWT.
Oleh karena itu, mari kita jadikan perasaan kehilangan ini sebagai momentum untuk meningkatkan kualitas diri. Mari kita jaga semangat Ramadan dalam kehidupan sehari-hari, dengan terus beribadah, berbuat baik, dan menjaga silaturahmi.
Semoga Allah SWT menerima amal ibadah kita dan menjadikan kita hamba-hamba yang istiqomah.