Masyarakat Komentar: Menyiarahi Kritik Tom Nichols Sebagai Tafsir Sosial atas Matinya Kepakaran

- Jurnalis

Sabtu, 17 Mei 2025 - 13:36 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh : (Andi Geerhand – Pengurus Bakornas LAPENMI PB HMI)

TRISAKTINEWS.COM — Membaca sejatinya adalah ziarah batin, sebuah perjalanan sunyi menapaki lorong-lorong makna, melintasi lembah kata dan puncak paragraf yang penuh tanya. Di sana, jiwa berhenti sejenak, menunduk pada hikmah yang tersembunyi, meresapi bisikan-bisikan sunyi yang terselip di antara baris-baris tulisan. Membuka lembar demi lembar seperti membuka jendela diri, ada yang terlupa diingatkan, ada yang samar dijernihkan, dan ada yang kosong dipenuhi kembali.

Tetapi hari ini, masyarakat kita mengalami kondisi paradoksal: defisit membaca namun surplus berkomentar. Budaya literasi yang seharusnya menjadi fondasi dalam membangun pemahaman justru terpinggirkan oleh kecenderungan instan dalam merespons isu. Banyak yang lebih memilih menggulir layar dan menyerap potongan-potongan informasi dangkal tanpa verifikasi, lalu merasa cukup percaya diri untuk berkomentar panjang lebar. Celakanya, komentar-komentar tersebut kerap bersandar pada prasangka, emosi sesaat, bahkan hoaks, alih-alih pada pemahaman yang mendalam.

Sebenarnya masyarakat digital hari ini tidak kekurangan data, tetapi kehilangan kepekaan terhadap makna. Membaca bukan lagi kebiasaan yang membumi dalam kehidupan sehari-hari, melainkan aktivitas yang dianggap lamban di tengah dunia yang menuntut kecepatan. Dalam ruang-ruang media sosial yang riuh, orang berlomba menjadi komentator, bukan pembaca. Bahkan sebelum sebuah gagasan tuntas dipahami, kita sudah terdorong untuk menanggapi, menyanggah, atau menghakimi.

Tentunya, fenomena ini bukan sekadar soal minimnya minat baca, melainkan kegagalan membangun etika berpikir kritis, khususnya dalam bermedia sosial. Kondisi ini melahirkan ruang publik yang bising namun miskin makna. Alih-alih menjadi wadah dialog yang sehat, media sosial justru berubah menjadi arena saling serang, adu opini tak berdasar, dan penghakiman massal. Ketika membaca tidak lagi dianggap sebagai kebutuhan, maka komentar pun kehilangan bobotnya.

Tom Nichols dalam The Death of Expertise (Matinya Kepakaran) ketika telah membacanya, sebenarnya menghadirkan ruang refleksi yang menggugah tentang bagaimana masyarakat modern mengalami krisis kepercayaan terhadap otoritas intelektual. Dalam pandangan Nichols, kita sedang berada di masa ketika pendapat personal, perasaan subjektif, dan opini instan dianggap setara, bahkan lebih superior dibandingkan dengan hasil penelitian ilmiah yang dibangun melalui proses panjang dan penuh kehati-hatian. Kepakaran yang dulu dihormati sebagai simbol pencapaian intelektual kini justru dipertanyakan, bahkan dicurigai.

Baca Juga :  Kabid Hukum dan HAM HMI Bone Ajak Masyarakat Wujudkan Pilkada yang Bersih dan Bermartabat

Fenomena ini tidak lepas dari munculnya budaya instan yang dimediasi oleh teknologi digital, di mana siapa pun bisa tampil sebagai “ahli” hanya bermodalkan sedikit bacaan, video singkat, atau kutipan yang lepas konteks. Akibatnya, ruang publik berubah menjadi gelanggang opini yang bising dan tidak terkurasi. Komentar menjadi komoditas utama, kecepatan menanggapi menjadi kebanggaan, sementara kedalaman berpikir dianggap kuno dan tidak relevan. Platform digital, alih-alih menjadi alat pemberdayaan, justru mempercepat kerusakan ini. Algoritma tidak dirancang untuk menumbuhkan kebijaksanaan, tetapi untuk mempertahankan perhatian. Yang emosional dan sensasional diberi tempat utama, sementara yang reflektif dan argumentatif tersingkir ke pinggiran.

Dalam ruang seperti ini, defisit membaca menjadi akar dari matinya nalar kritis dan kepekaan. Padahal, membaca bukan hanya soal mengakses informasi, melainkan juga menyusun kerangka berpikir, menimbang berbagai sudut pandang, dan mengasah kemampuan reflektif. Ketika aktivitas membaca tergantikan oleh sekadar menonton atau menyimak informasi sekilas, masyarakat kehilangan kedalaman dalam memahami persoalan. Orang-orang akan dengan cepat membentuk opini dan merasa sah untuk menyampaikan pendapat, bahkan dalam isu yang kompleks dan multidimensi tanpa melalui proses belajar yang memadai. Inilah yang oleh Nichols disebut sebagai arogansi intelektual semu, di mana seseorang menganggap dirinya memahami sesuatu hanya karena tahu sedikit tentangnya.

Di titik ini, muncul ekosistem pengetahuan yang rapuh. Alih-alih menumbuhkan dialog berbasis argumen yang matang, ruang publik berubah menjadi ajang pertarungan opini yang dangkal. Komentar-komentar yang bersifat emosional, provokatif, atau viral lebih mudah mendapat panggung dibanding analisis yang disampaikan dengan tenang dan berbasis data. Platform media sosial pun turut memperkuat gejala ini: algoritma lebih mengutamakan kecepatan interaksi daripada kualitas isi. Akibatnya, keberanian untuk berkomentar cepat mengalahkan kebiasaan berpikir pelan. Masyarakat tak lagi menghargai proses belajar sebagai laku spiritual-intelektual, melainkan terjebak dalam budaya respon cepat, lupa cepat.

Baca Juga :  Ramadan dan Buka Puasa: Merayakan Bulan Suci ala Indonesia

Kondisi ini menjadi alarm serius bagi masa depan peradaban yang sehat. Sebab, ketika kepakaran tak lagi dipercayai, maka orientasi pengetahuan akan bergeser dari pencarian kebenaran menjadi adu persepsi. Tumbuhlah generasi yang mudah percaya hoaks, rentan terpolarisasi, dan kehilangan kemampuan berpikir sistematis. Nichols tidak sedang mengagungkan elitisme intelektual, melainkan menekankan bahwa dalam masyarakat yang sehat, harus ada ruang yang jelas antara pengetahuan dan opini, antara yang terbukti dan yang sekadar terasumsi. Kepakaran bukan soal gelar atau jabatan, tetapi hasil dari dedikasi, pembacaan mendalam, pengalaman panjang, dan keterbukaan terhadap koreksi.

Menghidupkan kembali budaya membaca bukan sekadar sebagai aktivitas teknis, tetapi sebagai kebiasaan intelektual, sebuah jalan panjang yang perlu ditempuh jika kita ingin memperbaiki kondisi ini. Pun, membaca adalah proses menundukkan diri pada pengetahuan, maka berkomentar tanpa membaca adalah bentuk ketidaksadaran diri yang arogan. Membaca menuntut kesabaran, keheningan, dan keterbukaan terhadap ide yang berbeda. Dalam hal ini, kita membutuhkan pemaknaan ulang akan nilai dari akvititas membaca yakni sebagai daya hidup berpikir, bukan sekadar kemampuan mengenal huruf. Kita perlu membangun kembali penghargaan terhadap proses berpikir yang lambat, cermat, dan penuh pertimbangan.

Oleh karena itu, membangun kembali budaya membaca bukan semata untuk meningkatkan statistik literasi, tetapi untuk menyelamatkan peradaban dari keruntuhan nalar. Kita harus menghidupkan kembali universitas sebagai ruang permenungan dan pembentukan karakter intelektual. Kita perlu mengingatkan masyarakat bahwa tidak semua suara setara. Melainkain, ada yang lahir dari proses panjang membaca dan berpikir, ada pula yang hanya pantulan dari gelisah yang tak sempat ditata. Jika tidak, kita akan terus tenggelam dalam zaman yang bising, di mana membaca dianggap membosankan, dan komentar yang dangkal dipuja-puji sebagai kebenaran.

“Selamat Hari Buku Nasional. Jika Cinta Membuka Hatimu, Maka Membaca Membuka Pikiranmu”

Berita Terkait

Industrialisasi Mengubah Sepak Bola Dari Tontonan Menjadi Konten
Kekerasan Literasi Di Tengah Hegemoni Media Sosial
Kartini dan Pemberdayaan Perempuan Indonesia
Masyarakat Madani Sebagai Platform Indonesia Mengahapus Penjajahan Diatas Dunia : Diplomasi Prabowo Merajut Solidaritas Dunia Islam
Ramadan Usai, Saatnya Beraksi: Mengukir Manfaat Sosial Nyata
Perpisahan dengan Ramadan: Memaknai Kehilangan Kebaikan
Penghujung Ramadan: Bulan Penuh Berkah dan Kemeriahan Menyambut Idul Fitri
Menyambut Hari Kemenangan: Refleksi Akhir Ramadan
Berita ini 141 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 4 Juni 2025 - 16:45 WITA

Industrialisasi Mengubah Sepak Bola Dari Tontonan Menjadi Konten

Rabu, 21 Mei 2025 - 14:48 WITA

Kekerasan Literasi Di Tengah Hegemoni Media Sosial

Sabtu, 17 Mei 2025 - 13:36 WITA

Masyarakat Komentar: Menyiarahi Kritik Tom Nichols Sebagai Tafsir Sosial atas Matinya Kepakaran

Senin, 21 April 2025 - 13:52 WITA

Kartini dan Pemberdayaan Perempuan Indonesia

Sabtu, 12 April 2025 - 23:03 WITA

Masyarakat Madani Sebagai Platform Indonesia Mengahapus Penjajahan Diatas Dunia : Diplomasi Prabowo Merajut Solidaritas Dunia Islam

Berita Terbaru