Bone Adalah Barometer; Masihkah Rakyat Berkuasa atau Sekedar Pelengkap Untuk Mendulang Suara?

- Jurnalis

Kamis, 21 Agustus 2025 - 23:19 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh : Aspiyandi (Akar Rumput)

TRISAKRTINEWS.COM — Kenaikan pajak bumi dan bangunan sebesar 300 persen adalah keputusan yang mengatur dari atas. Namun begitu ucapan dari emak-emak “Hidup Mahasiswa, Pa bupati Mendre Idi’na Mandrasa-rasa” keluar, medan konflik berubah. ucapan tajam itu memindahkan pertarungan dari kebijakan tertulis menjadi kehadiran fisik. Dalam politik, yang menentukan bukan sekadar isi tuntutan, melainkan siapa yang sanggup hadir di ruang yang sebelumnya bukan untuknya.

Kehadiran yang masif membentuk kembali peta yang dianggap tetap. Ruang kota yang biasanya menjadi milik lalu lintas dan protokol resmi diubah menjadi tempat berbicara bersama. Orang yang sebelumnya dihitung hanya sebagai pemilik objek pajak kini hadir sebagai subjek yang mengklaim hak untuk menentukan nilainya. Politik muncul ketika mereka yang tidak diperhitungkan memaksa dirinya masuk ke ruang pembagian yang mapan.

Ucapan dari emak-emak menjadi koordinat yang mengumpulkan serpihan keresahan. Ia memberi bentuk pada sesuatu yang sebelumnya hanyut dalam ketertpuaahan. Tantangan itumemberi garis untuk dilewati sehingga setiap orang yang melangkah menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar daripada dirinya.

Di sela langkah itu, terlintas warisan yang lebih tua dari hitungan pajak, kisah lama ketika Arung palakka memimpin perlawanan terhadap pusat-Mataram yang hendak mengatur dari jauh. Jejak itu tak butuh penjelasan panjang. Ia hadir seperti napas yang menguatkan, bahwa medan seperti ini pernah dilalui dan tetap menemukan cara untuk menyatukan langkah.

Seperti buah lontar, dibawa penjual dengan pikulan bambu yang di ujungnya tergantung buah lontar, berkeliling kampung hingga malam memanggil pelanggan dari pintu ke pintu. Dalam bentuk aslinya ia lebih dari sekadar makanan: ia peristiwa sosial yang mengandalkan pertemuan langsung, sapaan, dan aliran kabar antarwarga. Setiap langkah penjual membentuk jalur penghubung yang mengikat rumah ke rumah, gang ke gang, seperti berita yang cepat.

Baca Juga :  Dukung Santri Penghafal Al-Qur'an, Telkomsel Serahkan Bantuan Kebutuhan Pangan

Pola “Pedagang buah lontar” ini dapat dibaca sebagai gambaran solidaritas yang merambat, pikulan bambu dari penjual buah lontar yang mengalir tanpa pusat komando, namun tiba di setiap pintu yang perlu diketuk; mekanisme organik yang dalam konteks hari itu menjadikan tantangan “banyaknya massa” bukan sekadar angka, melainkan jaringan kehadiran yang mengisi ruang publik.

Di jalan, wajah-wajah membawa sejarah singkat dan sejarah panjang sekaligus. Ada yang datang karena beban tagihan yang menghimpit, ada yang datang untuk memastikan bahwa tanah tidak diambil alih oleh logika komoditas. Mereka berbagi ruang, berdiri setara, dan dalam kesetaraan itulah tatanan yang memandang mereka hanya objek pajak mulai retak.

Setiap kamera yang merekam berharap menemukan kekerasan seperti stigma lama Bone. Yang terdengar justru ajakan cepat yang mengikat ritme langkah. Ia bukan teriakan yang liar, melainkan pengatur tempo, memastikan barisan bergerak dengan arah yang sama, menandai ketertiban yang lahir dari bawah.

Kehadiran itu adalah pernyataan bahwa pembagian ruang dan suara tidak hanya hak mereka yang duduk di kursi kekuasaan. Begitu orang-orang yang sebelumnya dibatasi hadir di pusat kota, garis antara yang memerintah dan yang diperintah bergeser. Politik sejati terjadi ketika batas itu ditembus, ketika mereka yang sebelumnya tidak diundang mengatur posisinya sendiri di medan yang sama, dan memaksa semua orang melihat bahwa peta lama sudah berubah.

Kehadiran di jalan hari itu bukan sekadar respons pada satu kebijakan atau satu pejabat. Ia adalah pernyataan kolektif bahwa siapa pun yang mencoba memisahkan tanah dari orang yang menghidupinya akan berhadapan dengan suara yang tumbuh di luar kendali mereka. Sebuah kota kecil bisa menjadi panggung pembagian ulang peran dalam kehidupan politik. Hari itu, Bone berdiri sebagai contoh bahwa perlawanan yang diatur sendiri mampu memindahkan garis batas siapa yang boleh bicara dan di mana.

Baca Juga :  Wabup Bone Hadiri Rakornas Pengelolaan Sampah 2025, Dorong Sinergi Pusat-Daerah Menuju Indonesia Bebas Sampah

Gelombang yang dimulai di sana dapat dibaca sebagai petunjuk bahwa politik nasional selalu berada di tepi gangguan. Garis pemisah antara diam dan perlawanan sangat tipis. Setiap kota dan desa menyimpan potensi untuk mengubah tantangan menjadi panggung. Yang dimulai dari pajak di satu kabupaten dapat menjalar menjadi pelajaran bagaimana kekuasaan dibatasi oleh kemampuan rakyat mengisi ruang, mengatur arah, dan memaksa diri hadir di medan yang sebelumnya tertutup bagi mereka.

Gelombang ini mungkin tidak mengubah struktur kekuasaan sampai ke akarnya. Watak spontanitasnya membuatnya berkilau kuat pada momen itu namun sulit bernafas panjang. Bukan semata soal ketiadaan wadah yang bisa merawat tenaga menjadi panjang, melainkan juga karena infrastruktur politik Indonesia tidak dirancang untuk menyerap kemarahan rakyat menjadi perubahan substansial.

Justru di situlah harga dari momen seperti ini terasa: ia adalah jeda singkat ketika garis antara penguasa dan yang dikuasai bergeser, ketika rakyat menulis ulang peta yang selama ini dijaga rapat, meskipun mereka tahu halaman berikutnya akan kembali diperebutkan. Politik muncul ketika tatanan alamiah dominasi, tulis Ranciere, diganggu dengan kehadiran resmi dari sebuah bagian dari mereka yang sebelumnya tak mendapatkan bagian. Nilainya bukan pada menjanjikan pembalikan total, melainkan pada memperlihatkan bahwa garis yang memisahkan yang berkuasa dan yang dikuasai dapat diguncang, bahkan oleh mereka yang tak pernah diundang duduk di meja.

Berita Terkait

Aliansi Rakyat Bone Bersatu Tegaskan Aksi Tolak Kenaikan PBB-P2 Murni Suara Rakyat
Cegah Banjir, Babinsa Binturu dan Warga Kompak Bersihkan Drainase Tersumbat
Ironi Hukum di Bawean : Terlapor Persetubuhan Anak Gugat Orang Tua Korban Pencemaran Nama Baik
Polresta Sidoarjo Gelar Upacara Peringatan Hari Juang Polri
Kapolres Gresik Hadiri Upacara Hari Juang, Kapolri Pimpin Upacara di Surabaya dan Resmikan Patung M Jasin
Diduga Wanprestasi LBH CCI Laporkan Klien ke Polresta Sidoarjo
DLH Jatim Pastikan Pembersihan Taman Apsari Rampung Usai Pesta Rakyat HUT RI
Plt. Kadis Perumahan Sulsel Terima Kunjungan Direktur AAF, Bahas Peningkatan Kapasitas Pegawai
Berita ini 20 kali dibaca
Tag :

Berita Terkait

Kamis, 21 Agustus 2025 - 23:59 WITA

Aliansi Rakyat Bone Bersatu Tegaskan Aksi Tolak Kenaikan PBB-P2 Murni Suara Rakyat

Kamis, 21 Agustus 2025 - 23:19 WITA

Bone Adalah Barometer; Masihkah Rakyat Berkuasa atau Sekedar Pelengkap Untuk Mendulang Suara?

Kamis, 21 Agustus 2025 - 23:16 WITA

Cegah Banjir, Babinsa Binturu dan Warga Kompak Bersihkan Drainase Tersumbat

Kamis, 21 Agustus 2025 - 23:14 WITA

Ironi Hukum di Bawean : Terlapor Persetubuhan Anak Gugat Orang Tua Korban Pencemaran Nama Baik

Kamis, 21 Agustus 2025 - 23:11 WITA

Polresta Sidoarjo Gelar Upacara Peringatan Hari Juang Polri

Berita Terbaru

Daerah

Polresta Sidoarjo Gelar Upacara Peringatan Hari Juang Polri

Kamis, 21 Agu 2025 - 23:11 WITA