KUHAP Baru dan Politik Pengamanan Negara: Tubuh Warga dalam Bayang-Bayang Kekuasaan

- Jurnalis

Kamis, 20 November 2025 - 21:03 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh : Saldi (Ketua Umum HmI Komisariat Hukum UNIASMAN)

TRISAKTINEWS.COM — Revisi KUHAP yang baru disahkan menandai pergeseran penting dalam relasi antara negara dan warga negara.Kalau pun KUHAP 1981 dirancang sebagai instrumen yang menahan laju kekuasaan negara demi melindungi kebebasan individu,maka KUHAP baru justru menunjukkan arah berlawanan: memperluas kewenangan aparat dengan batas pengawasan yang lebih longgar.Dalam kajian hukum kritis, ini bukan sekadar pembaruan teknis, tetapi mencerminkan politik pengamanan yang menempatkan stabilitas negara di atas perlindungan hak konstitusional warga.

Sejumlah norma baru memang memperlihatkan modernitas prosedural plea bargaining, rekaman CCTV, digital forensik, serta mekanisme koordinasi antarpenegak hukum. Tetapi modernitas tidak selalu identik dengan perlindungan. Ketika kewenangan penangkapan, penahanan, serta penyitaan diperluas tanpa syarat objektif yang ketat, hukum acara berubah menjadi alat kontrol sosial yang lebih efektif daripada sebelumnya. Di sini, modernisasi justru memperhalus bentuk-bentuk represi yang sebelumnya terlihat lebih kasar.

Norma penyadapan dan penggeledahan elektronik dalam KUHAP baru, misalnya, tidak sepenuhnya diselaraskan dengan prinsip right to privacy dalam Pasal 28G UUD 1945 dan ICCPR. Pengaturan yang masih membuka ruang diskresi aparat tanpa keterlibatan pengadilan sebagai pengawas independen menciptakan potensi pelanggaran hak privasi warga, terlebih bagi kelompok yang tidak memiliki posisi tawar. Modernisasi digital yang seharusnya meningkatkan akuntabilitas justru berpotensi memperluas domain pengawasan negara.

Baca Juga :  Wanita Paruh Baya Tewas Tertabrak KA Jenggala di Depan Maspion 3 Gedangan

Masalah lainnya muncul dari proses legislasi. Minimnya ruang deliberasi publik menunjukkan bahwa negara lebih menempatkan keamanan prosedural daripada legitimasi demokratis. Padahal Pasal 96 UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menegaskan bahwa partisipasi masyarakat adalah komponen esensial dalam pembentukan hukum. Ketika suara publik hanya didengar sebagai formalitas, maka hukum kehilangan basis kepercayaannya. Produk legislasi yang lahir dari ruang-ruang tertutup cenderung mengabaikan pengalaman konkret masyarakat yang sehari-hari berhadapan dengan aparat.

Dalam konteks sosial Indonesia, dampak KUHAP baru tidak akan dirasakan secara merata. Kelompok dengan akses hukum kuat mungkin dapat menavigasi prosedur baru, tetapi masyarakat kecil buruh, nelayan, petani, pekerja informal akan berada pada posisi paling rentan. Perluasan kewenangan penyidik tanpa penguatan mekanisme pengawasan yudisial menempatkan mereka sebagai pihak yang paling mudah terpapar kriminalisasi, salah tangkap, atau tindakan paksa berlebihan. Di sinilah paradoks terbesar reformasi hukum muncul: aturan yang diklaim melindungi masyarakat justru berpotensi menambah kerentanan struktural.

Baca Juga :  Panen Perdana Semangka Non Biji di Desa Kalobba, Sinjai Ekspor ke NTT dan NTB

Dalam teori negara hukum, kekuasaan negara seharusnya tunduk pada kontrol hukum, bukan sebaliknya. Namun KUHAP baru menunjukkan pola berbeda: hukum justru membuka ruang legitimasi bagi kewenangan negara yang lebih ekspansif. Ketika tubuh warga dapat diintervensi lebih jauh tanpa kontrol yang memadai, ketika privasi semakin tipis, ketika penahanan menjadi lebih mudah dilakukan, maka prinsip rule of law bergeser menjadi rule by law hukum sebagai alat kekuasaan, bukan alat keadilan.

Reformasi KUHAP seharusnya memperkuat perlindungan warga dari tindakan sewenang-wenang. Tetapi jika orientasinya bergeser pada stabilitas dan efisiensi negara, tanpa keseimbangan hak asasi manusia, maka produk hukum tersebut menjadi instrumen pengamanan, bukan perlindungan. Di sinilah masyarakat perlu bersuara: tidak untuk menolak negara, tetapi untuk mengingatkan bahwa negara hanya dapat kuat apabila warganya merasa aman,bukan terancam.

Selama pasal-pasal yang problematik tidak direvisi dan selama proses legislasi terus menjauh dari semangat demokrasi, kritik publik tidak hanya penting, tetapi juga niscaya.Sebab hukum yang membatasi warga lebih daripada ia membatasi kekuasaan adalah hukum yang sedang menuju krisis legitimasi.

Berita Terkait

Disiplin Berlalu Lintas Ditingkatkan, ETLE Incar Polres Gresik Sasar Titik Rawan Selama Operasi Zebra 2025
Masuki Hari Kelima, Satlantas Polres Bone Intensifkan Sosialisasi Operasi Zebra Pallawa 2025
Dekatkan Polisi dengan Santri, Satlantas Bone Adakan Doa Bersama dan Edukasi Lalu Lintas
70 Peserta Ikuti Latsar CPNS Bone 2025, Wabup Akmal Pasluddin: ASN Harus Berorientasi Pelayanan
995 Hektar Lahan Karampuang Masuk Calon Hutan Adat, Tim Terpadu Paparkan Hasil Verifikasi
PN Gresik Tolak Gugatan Pelaku Kekerasan Seksual Anak, Eksepsi Tergugat Dikabulkan Penuh
Bone Dukung Penerapan Pidana Kerja Sosial, Wabup Akmal Pasluddin Hadiri Penandatanganan PKS di Makassar
Bupati dan Kapolresta Sidoarjo Tutup Pertandingan Bola Volly Indoor dan Volly Pantai U-17 Bhayangkara Cup Tingkat Nasional
Tag :

Berita Terkait

Jumat, 21 November 2025 - 22:09 WITA

Disiplin Berlalu Lintas Ditingkatkan, ETLE Incar Polres Gresik Sasar Titik Rawan Selama Operasi Zebra 2025

Jumat, 21 November 2025 - 17:12 WITA

Masuki Hari Kelima, Satlantas Polres Bone Intensifkan Sosialisasi Operasi Zebra Pallawa 2025

Jumat, 21 November 2025 - 17:10 WITA

Dekatkan Polisi dengan Santri, Satlantas Bone Adakan Doa Bersama dan Edukasi Lalu Lintas

Jumat, 21 November 2025 - 17:06 WITA

70 Peserta Ikuti Latsar CPNS Bone 2025, Wabup Akmal Pasluddin: ASN Harus Berorientasi Pelayanan

Jumat, 21 November 2025 - 17:05 WITA

995 Hektar Lahan Karampuang Masuk Calon Hutan Adat, Tim Terpadu Paparkan Hasil Verifikasi

Berita Terbaru