SURABAYA, TRISAKTINEWS.COM — Fenomena meningkatnya penetapan tersangka terhadap debitur oleh perusahaan leasing dengan tuduhan penggelapan objek jaminan fidusia (Pasal 36 UU Fidusia) dan/atau Pasal 372 KUHP kembali menuai perhatian publik. Kasus ini menimbulkan perdebatan hukum di kalangan masyarakat dan praktisi hukum mengenai sah atau tidaknya tindakan tersebut.
Menanggapi hal ini, Bramada Pratama Putra, S.H., CPLA., selaku Ketua Harian Yayasan Advokasi Lembaga Perlindungan Konsumen (YALPK Group), memberikan pandangannya terkait dasar hukum dan keabsahan proses penetapan tersangka terhadap debitur.
Menurut Bramada, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menegaskan bahwa sah atau tidaknya penetapan tersangka, penahanan, dan penggeledahan dapat diuji melalui praperadilan.
“Penetapan tersangka harus berdasarkan dua alat bukti yang cukup. Jika hanya berdasarkan laporan kreditur tanpa akta fidusia yang sah, maka penetapan tersebut tidak memenuhi syarat objektif,” tegasnya.
Ia menjelaskan, berdasarkan UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia Pasal 5–11, agar Pasal 36 UU Fidusia dapat diterapkan, harus ada perjanjian fidusia yang sah dan terdaftar. Bila akta fidusia dibuat tanpa kehadiran pemberi fidusia (debitur), maka akta tersebut cacat hukum dan tidak dapat dijadikan dasar pemidanaan.
Hubungan Hukum Bersifat Perdata, Bukan Pidana
Bramada menegaskan bahwa hubungan antara debitur dan kreditur merupakan hubungan perdata yang diatur dalam Pasal 1320 dan 1338 KUHPerdata, bukan tindak pidana.
“Persoalan pengalihan atau penguasaan kendaraan bermotor yang masih dalam masa kredit adalah wanprestasi (cidera janji), bukan penggelapan,” jelasnya.
Rujukan Surat Edaran Kabareskrim
Lebih lanjut, Bramada mengutip Surat Edaran Kabareskrim Polri Nomor: B/2110/VIII/2009, yang menegaskan bahwa:
- Laporan debitur terhadap perusahaan pembiayaan terkait penarikan unit tidak boleh diproses dengan pasal pencurian atau perampasan.
- Laporan perusahaan pembiayaan terhadap debitur yang mengalihkan unit tidak boleh diproses dengan pasal penggelapan atau tindak pidana lainnya.
Dengan demikian, menurutnya, laporan dugaan penggelapan objek fidusia seharusnya diselesaikan secara perdata atau mediasi konsumen, bukan melalui jalur pidana.
Dugaan Cacat Formil dan Pelanggaran UUPK
Bramada juga menyoroti adanya dugaan cacat formil dalam pembuatan akta jaminan fidusia tanpa kehadiran langsung debitur dan hanya berdasarkan surat kuasa bermuatan klausula baku. Hal ini, kata dia, bertentangan dengan Pasal 18 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Ia bahkan menemukan adanya perbedaan data uang muka (down payment) antara kontrak pembiayaan dan nilai pembayaran sebenarnya oleh konsumen. “Ini menunjukkan bahwa debitur adalah pihak yang beritikad baik, bukan pelaku kejahatan sebagaimana dituduhkan,” ujarnya.
Pesan untuk Lembaga Pembiayaan
Di akhir pernyataannya, Bramada mengingatkan agar lembaga pembiayaan di sektor keuangan tetap menghormati hak-hak konsumen dan menjalankan prinsip kehati-hatian dalam proses kredit.
Sebagai bentuk edukasi kepada masyarakat, Bramada mengimbau:
- Berhati-hatilah saat mengajukan kredit.
- Pastikan pihak pembiayaan melakukan verifikasi dan menghadirkan debitur saat akta fidusia dibuat.
“Keberadaan hukum harus melindungi semua pihak secara adil, termasuk konsumen yang beritikad baik,” pungkasnya.
Penulis : Redho
Editor : Redaksi










