Oleh : Aspiyandi Aspiyandi (Ketua Bidang Pendidikan, Media dan Propoganda) Dewan Pengurus Pusat Serikat Buruh Industri Morowali Indonesia (SBIMI)
TRISAKTINEWS.COM — Bukan maksud merendahkan upaya-upaya galang donasi. Ini pandangan kritis saya yang mempertanyakan transparansi.
Dari “Koin untuk Prita”, patungan masjid di Tokyo, livestreaming Windah Basudara, hingga campaign donasi Aceh-Sumut-Sumbar. Era media sosial menuntut tumbal bernama eksposur. Semakin tinggi eksposur, maka semakin besar kemungkinan panggung yang bisa didirikan. Mau itu politikus, brand ternama, influencer, atau sekadar organisasi yang ketuanya haus validasi, rumusnya hampir pasti diketahui semua orang. Hampir semua donasi butuh trade-off.
Mencari ketulusan tanpa agenda, lebih-lebih di era media sosial, rasanya seperti mencari jarum di tumpukan jerami.
Agar campaign berjalan efektif, kegaduhan dan dramaturgi menjadi menu wajib. Mari tengok ekosistem crowdfunding seperti Kitabisa, penggalangan donasi dari Ferry Irwandi, hingga tangis Gubernur Mualem—bukan maksudnya saya meragukan ketulusan mereka—semua butuh pengelolaan narasi. Di era kiwari, berbuat baik pun harus berisik, harus viral. Kalau tidak, orang Indonesia hanya memedulikan diri sendiri, saling berbalas bacot di medsos, adu nasib antara korban bencana dengan dirinya. Donasi pun hanya sesekali, itu pun zakat fitrah.
Padahal, jika kita cukup terhubung satu sama lain sebagai manusia, mengumpulkan donasi miliaran jujur bukan hal mustahil. Yang sulit itu berdonasi tanpa berisik. Apalagi donasi tanpa menghitung SROI atau branding. Sulit sekali.
Saya, di awal peristiwa longsor dan banjir ini menyeruak, dongkol sekali melihat orang-orang kaya. Secara sentimen, ini bias kelas saja. Jujur, logika saya bilang, semua orang punya struggle masing-masing, tapi karena arogansi yang ditampilkan di medsos maupun di jalanan, tentu dengan pengawalan tatatotot, hingga puncaknya karena eksploitasi lahan yang jadi penyebab bencana ini, saya makin subjektif menilai mereka.
Hingga kemudian, di Sumatra, ada pengusaha nonsawit yang menggelontorkan sumbangan hampir 20 miliar tanpa satu pun rilis media. Ada pengusaha lain meminjamkan jet pribadi, kendaraan, hingga mengirim tim logistik untuk masuk ke daerah-daerah terdampak. Mereka ini, termasuk akun media sosial mereka, benar-benar zero coverage. Di level akar rumput, ada banyak individu yang memberi dan terjun langsung tanpa perlu posting-posting. Dan memang mereka terbiasa begitu.
Melihat kebiasaan netizen yang suka menagih solusi maupun kontribusi saat berdebat, kita jadi merasa berkewajiban untuk menunjukkan amal. Tapi jujur, justru di situ letak toxic-nya.
“Gak sayang lu nyumbang gak sekalian branding?”
“Usaha kredit gue udah untung, ngapain cari duit lagi? Kalo mau branding, bikin aja event edukatif, biayain UMKM. Jangan monetize orang lagi susah.”
Itu “image”-ku? Kok, berlumpur sekali?
Mengkritisi Uang Donasi
Jika kita mau mengasah critical thinking, sebenarnya sah-sah saja mempertanyakan raksasa crowdfunding seperti Dompet Dhuafa, KitaBisa, BenihBaik, dan sejenisnya. Apalagi dulu, publik pernah tersentak dengan skandal ACT. Masih ingat, kan?
Sebagai orang yang bertahun-tahun makan asam garam di dunia NGO, kurang lebih saya memahami beberapa filantropi yang melakukan hal ini. Lembaga donasi bukan sekadar penyalur bantuan, tapi kerap jadi sasaran empuk money laundry. Uang haram masuk lewat jalur ini karena layer-nya banyak, sulit dilacak, dan berlindung di balik tameng moralitas “orang baik”. Kalau sudah dilabel begini, masa “orang baik” diaudit? 🙂
Menurut FATF (Financial Action Task Force)—badan antar-pemerintah global untuk pemberantasan pencucian uang—organisasi nirlaba (NPO) dikategorikan sebagai entitas yang “sangat rentan” (highly vulnerable) disalahgunakan untuk pendanaan teroris dan/atau pencucian uang. Alasannya, NPO memiliki akses ke aliran dana, sering beroperasi di daerah konflik yang minim pengawasan perbankan, dan memiliki kepercayaan publik yang tinggi sehingga jarang dicurigai.
Sedangkan dalam tahap pencucian uang, ada fase yang disebut Integration. Yaitu donasi fiktif atau donasi yang digelembungkan ke yayasan milik sendiri, yang klasik digunakan untuk memasukkan uang hasil kejahatan ke sistem ekonomi yang sah. Uang haram masuk sebagai “sumbangan”, lalu keluar jadi “gaji pengurus”, “biaya operasional”, atau project yang sah secara hukum.
Namun di kasus lain, ACT terbongkar bukan hanya karena audit sistemnya saja, melainkan didukung oleh sentimen publik yang sudah muak dengan kemunafikan. Faktor tersendiri di Indonesia, yaitu faktor moralitas. Terlebih ada beberapa lembaga kebencanaan yang merasakan hal yang sama, sebelum kasusnya muncul, ACT memang sudah dicurigai sejak lama terutama di lingkaran filantropi sendiri.
Bangsa Indonesia itu aneh. Di satu sisi, kita membenci kemunafikan, standar moralitas kita begitu tinggi dalam hal tertentu. Namun, jika itu menyentuh diri kita sendiri, kita merasa ini sebuah “keterpaksaan” yang tidak boleh di-judge sembarangan oleh orang lain.
Itulah kenapa ada pejabat-pejabat yang mengejek orang-orang kritis yang berkontribusi. Termasuk si Pak Endipat yang sekompetitif dan seiri itu dengan coverage sipil sampai melabeli mereka “si paling-paling”.
Begitu menyentuh isu kemanusiaan atau agama, praktik pencucian uang dan penghindaran pajak menjadi wilayah tak tersentuh. Yayasan adalah kendaraan paling mulus untuk menghindari pajak. Negara kita sudah mengatur kalau sumbangan, zakat, bansos, semuanya bebas pajak.
Karenanya, pernah heran kenapa korporasi seperti GoTo, Ruangguru, hingga Kitabisa punya yayasan sendiri? Kenapa tidak cukup dengan CSR biasa? Jawabannya sering kali ada di laporan keuangan. Momen bencana sering kali jadi momentum emas untuk memarkir uang di yayasan demi insentif fiskal.
Kenapa orang kaya atau politikus gemar sekali merapat ke lembaga agama, seperti pesantren atau gereja?
Para sosiolog sering mengkritik fenomena ini sebagai philanthrocapitalism. Yaitu cara para elite menggunakan filantropi bukan untuk perubahan sosial struktural, melainkan untuk mengamankan kekuasaan dan memoles branding tanpa mengubah sistem yang membuat mereka kaya raya dan orang lain tetap miskin.
FYI, saya pernah bekerja di lembaga filantropi dan diundang ke sebuah acara golf amal. Hadiahnya mentereng: Mercedes Benz dan uang ratusan juta. Tapi, total donasi yang terkumpul? Tidak sampai 500 juta. Ironisnya, salah seorang ketua panitia sempat berujar tanpa rasa bersalah:
“Kami mengundang ************ ke sini demi misi sosial, ya. Sempat ada ide mengundang lembaga Lindungi Hutan, tapi ya… kita semua di sini, ‘kan, bisnisnya gak ramah lingkungan, haha.”
Tertawa di atas kerusakan yang mereka buat, lalu mencucinya dengan donasi recehan. Itulah wajah asli sebagian filantropi kita.
Otokritik & Poin Perdebatan
Oke, agar tulisan ini lebih tajam dan tidak sekadar jadi ranting semata, saya rasa saya perlu mempertimbangkan sisi sebaliknya. Saya sudah menanyakan AI tentang argumen untuk melawan tulisan saya. Semoga setelah ini, Anda bisa berpikir dua kali, gak sepenuhnya setuju dengan opini saya.
* Efektivitas vs Ketulusan
Argumen: Donasi yang viral memang menyebalkan, tapi secara statistik jauh lebih efektif secara massal daripada gerakan senyap. Untuk kasus darurat (seperti bencana besar atau biaya medis miliaran yang mendesak), apakah kita punya kemewahan untuk menunggu donatur senyap?
Jadi, mungkin “drama” adalah biaya operasional yang harus dibayar masyarakat untuk menyelamatkan nyawa secara cepat. Apakah salah memanfaatkan algoritma jika hasil akhirnya ada nyawa yang tertolong?
* Tax Avoidance (Legal) vs Tax Evasion (Ilegal)
Argumen: memanfaatkan yayasan untuk insentif pajak adalah praktik legal (tax planning) yang diatur undang-undang. Pemerintah memang memberikan insentif agar swasta mau membantu beban negara dalam mengurus masalah sosial.
Batas etisnya ada di mana? Salahkah perusahaan melakukan efisiensi pajak jika dana tersebut benar-benar disalurkan ke masyarakat? Masalahnya bukan pada yayasannya, tapi pada pengawasannya. Jangan sampai kita memukul rata semua yayasan korporasi sebagai tempat cuci uang.
Kurang lebih, itu hasil debat kami. Semoga objektif, ya.
Jadi, Sesama Manusia Tidak Boleh Beramal? Bukan begitu. Filantropi tidak boleh mati dan tidak seharusnya dimatikan. Justru kita butuh jaring pengaman sosial saat negara—lebih-lebih dalam konteks Indonesia—absen atau lambat bergerak.
Sebagai masyarakat, kita harus berhenti jadi donatur yang nrimo aja. Kita harus berhenti terpesona pada scene-scene kesedihan dan narasi heroik di media sosial, jujur, momen bencana sangat rentan dipolitisasi, termasuk selentingan bupati soal “Prabowo presiden seumur hidup” itu. Anda mungkin menertawakan dan mengkritisi, tapi korban bencana sangat rentan emosinya. Antara berontak atau submit 100% jadi sudah saatnya kita harus terus berisik menuntut transparansi, bukan sekadar dokumentasi belaka.
Berhati-hati bukan berarti pelit. Kritis bukan berarti benci. Justru karena kita peduli ke mana uang itu bermuara, kita harus berani bertanya: apakah donasi ini memberdayakan, atau sekadar cuci tangan bagi dosa-dosa ekologis dan finansial para elite?
Mari berhati-hati dan tetaplah kritis.
Editor : Admin Redaksi










