Iktikaf: Menemukan Ramadan dalam Kesunyian

- Jurnalis

Senin, 24 Maret 2025 - 21:48 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh : Ismail Suardi Wekke (Cendekiawan Muslim Indonesia)

TRISAKTINEWS.COM – Di sepuluh malam terakhir Ramadan, masjid-masjid dipenuhi dengan umat Islam yang menjalankan iktikaf. Iktikaf, secara harfiah berarti berdiam diri, adalah ibadah sunnah yang dilakukan dengan cara berdiam diri di masjid, fokus beribadah kepada Allah SWT.

Tradisi ini berakar dari praktik Nabi Muhammad SAW, yang secara rutin melakukan iktikaf di sepuluh malam terakhir Ramadan. Tujuannya adalah untuk mencari Lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan, dan untuk meningkatkan kedekatan dengan Sang Pencipta.

Selama iktikaf, umat Islam menghabiskan waktu mereka dengan membaca Al-Qur’an, berdoa, berzikir, dan melakukan salat malam. Mereka menjauhkan diri dari urusan duniawi, memfokuskan hati dan pikiran mereka pada ibadah.

Kesunyian masjid menjadi ruang introspeksi, di mana umat Islam merenungkan dosa-dosa mereka, memohon ampunan, dan memperbarui komitmen mereka untuk hidup sesuai dengan ajaran Islam.

Beberapa orang mungkin merasakan ketenangan yang mendalam, seolah-olah mereka berada dalam dialog langsung dengan Allah SWT. Malam-malam berlalu dengan cepat, diisi dengan ibadah dan doa.

Baca Juga :  Kuliner Ramadan: Tradisi Makanan dan Praktik Makan selama Ramadan

Ketika fajar menyingsing, mereka meninggalkan masjid dengan hati yang lebih bersih dan jiwa yang lebih tenang. Iktikaf telah memberi mereka kesempatan untuk mengisi ulang spiritual mereka, mempersiapkan diri untuk menghadapi sisa tahun dengan iman yang lebih kuat.

Iktikaf bukan hanya tentang berdiam diri di masjid. Ini adalah tentang perjalanan spiritual, tentang menemukan kedamaian dalam kesunyian, dan tentang memperdalam hubungan dengan Allah SWT.

Iktikaf: Menemukan Introspeksi dalam Ketenangan Ramadan

Iktikaf, sebuah tradisi yang dilakukan umat Islam pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadan, lebih dari sekadar berdiam diri di masjid. Ia adalah perjalanan spiritual yang mendalam, sebuah upaya untuk melepaskan diri dari hiruk-pikuk dunia dan fokus pada hubungan dengan Sang Pencipta.

Tradisi ini berakar pada praktik Nabi Muhammad SAW, yang secara rutin melakukan iktikaf untuk mencari Lailatul Qadar, malam yang penuh berkah.

Selama iktikaf, umat Islam menghabiskan waktu mereka dalam ibadah yang khusyuk. Mereka membaca Al-Qur’an, merenungkan maknanya, dan memanjatkan doa-doa dengan harapan ampunan dan rahmat.

Zikir dan salat malam menjadi bagian tak terpisahkan dari rutinitas mereka, menciptakan suasana ketenangan dan kedekatan dengan Allah SWT. Kesunyian masjid memberikan ruang bagi introspeksi diri, di mana umat Islam merenungkan tindakan mereka, mengakui kesalahan, dan memperbarui komitmen mereka untuk hidup sesuai dengan ajaran agama.

Baca Juga :  Ramadan dan Teknologi: Spiritualitas di Era Digital

Iktikaf bukan hanya tentang ritual fisik, tetapi juga tentang transformasi spiritual. Ini adalah waktu untuk merenungkan makna hidup, untuk menghargai nikmat yang diberikan, dan untuk memperkuat iman.

Dalam kesunyian masjid, umat Islam menemukan kedamaian dan ketenangan yang sulit ditemukan di dunia luar. Mereka belajar untuk menghargai momen-momen refleksi dan untuk memprioritaskan hubungan mereka dengan Allah SWT.

Ketika fajar menyingsing dan iktikaf berakhir, umat Islam meninggalkan masjid dengan hati yang lebih bersih dan jiwa yang lebih tenang. Pengalaman iktikaf memberi mereka kekuatan spiritual untuk menghadapi tantangan hidup dengan ketabahan dan keyakinan.

Mereka membawa pulang pelajaran tentang kesabaran, kerendahan hati, dan pentingnya hubungan yang kuat dengan Sang Pencipta. Iktikaf bukan hanya ritual Ramadan, tetapi investasi spiritual yang membawa manfaat jangka panjang bagi kehidupan seorang Muslim.

Berita Terkait

Bone Adalah Barometer; Masihkah Rakyat Berkuasa atau Sekedar Pelengkap Untuk Mendulang Suara?
Data Bicara, Toleransi di Kota-Kota Kita Masih Rentan Terbisu
Industrialisasi Mengubah Sepak Bola Dari Tontonan Menjadi Konten
Kekerasan Literasi Di Tengah Hegemoni Media Sosial
Masyarakat Komentar: Menyiarahi Kritik Tom Nichols Sebagai Tafsir Sosial atas Matinya Kepakaran
Kartini dan Pemberdayaan Perempuan Indonesia
Masyarakat Madani Sebagai Platform Indonesia Mengahapus Penjajahan Diatas Dunia : Diplomasi Prabowo Merajut Solidaritas Dunia Islam
Ramadan Usai, Saatnya Beraksi: Mengukir Manfaat Sosial Nyata
Berita ini 4 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 21 Agustus 2025 - 23:19 WITA

Bone Adalah Barometer; Masihkah Rakyat Berkuasa atau Sekedar Pelengkap Untuk Mendulang Suara?

Jumat, 20 Juni 2025 - 14:58 WITA

Data Bicara, Toleransi di Kota-Kota Kita Masih Rentan Terbisu

Rabu, 4 Juni 2025 - 16:45 WITA

Industrialisasi Mengubah Sepak Bola Dari Tontonan Menjadi Konten

Rabu, 21 Mei 2025 - 14:48 WITA

Kekerasan Literasi Di Tengah Hegemoni Media Sosial

Sabtu, 17 Mei 2025 - 13:36 WITA

Masyarakat Komentar: Menyiarahi Kritik Tom Nichols Sebagai Tafsir Sosial atas Matinya Kepakaran

Berita Terbaru

Daerah

Polresta Sidoarjo Gelar Upacara Peringatan Hari Juang Polri

Kamis, 21 Agu 2025 - 23:11 WITA