Oleh : Anshar Aminullah (Dewan Pakar Kahmi Sulsel)
TRISAKTINEWS.COM – Pada suatu waktu, salah seorang aktivis dengan sekelumit kisah “Kanda di mana, Dinda dimana” sedang bersiap dengan proposal di tangan dan segudang harapan cair disaat suasana beku depan ruangan tunggu.
Saat berada di depan ruangan kerja seniornya, sosok yang selalu dia dengar namanya dari mulut ke mulut pemateri di ruang pengkaderan yang dijalaninya.
Seorang senior yang saat itu menjadi pejabat publik dengan gaji dan tunjangan yang lumayan besar untuk ukuran kala itu.
Tak berselang lama, lalu di SMS lah seniornya itu “kanda di mana?, seniornya dengan cepat membalasnya” kita iya dinda, dimanaki?, juniornya dengan sisa SMS gratisnya juga membalas “kitamo dulu kanda?”, seniornya lebih ngotot “kitami dulu dinda di manaki”.
Rupanya balas berbalas SMS itu adalah semacam strategi menjejaki kondisi. Saat dibalas oleh sang junior “saya di depan ruangan ta kanda”. Seniornya pun menjawab “aiii… Saya lagi di luar kantor dinda”. Dan sang senior pun lolos dari proposal untuk saat itu.
Sekelumit kisah di atas menjadi bahagian dari dinamika dan roller coaster kehidupan seorang aktivis.
Yang jika beruntung, akan jadi bekal berharga saat nasib baik berpihak kepadanya.
Entah sebagai seorang pejabat maupun pengusaha sukses. Sebab dalam kehidupan berorganisasilah banyak dialektika. Meskipun banyak bawaan drama dan suasana dilematis yang memusingkan, namun tetap menyenangkan. Bagaimana nikmatnya berorganisasi justru acapkali berada di part sedih itu.
Perekat Emosional
Kalimat pertanyaan di atas sudah menjadi semacam tradisi menyapa bahkan hingga di 78 tahun usia Himpunan Mahasiswa Islam tepat di 5 Februari ini. Kanda Dimana, Dinda dimana, termasuk kalimat Posisi, Petunjuk dan Adakah menjadi kalimat perekat emosional meskipun kadang-kadang terdengar sedikit rasa ‘horor’ saat mendapatkan pertanyaan dari salah satu kalimat tersebut. Kalimat ini tak lekang oleh waktu, dia tetap memiliki daya kontrol, etos kebersamaan, dan nyaris menjadi terminologi kultur para aktivis berstatus mahasiswa.
Kalimat-kalimat singkat di atas secara perlahan namun pasti, mampu menjadi energi sejarah bagi yang pernah berbalas sahut-menyahut pada penggunaan kepada seniornya. Kalimat yang juga menasbihkan mereka sebagai kader yang pintar dan cerdas, juga pengkader yang terikat erat emosionalnya. Perlu dicatat, bahwa sebagai seorang kader, dia tak boleh hanya mampu pintar di dalam kampus.
Dia juga harus pintar hidup bersama dan mampu menjaga kedekatan emosional dengan para seniornya, baik yang mengkadernya secara langsung maupun mewarisi pengalaman dan pemikiran dari para senior pendahulunya yang belum sempat berinteraksi pemikiran secara face to face.
Itu idealnya, meskipun pada kenyataannya masih tetap menjadi sesuatu yang mahal karena kelangkaannya.
Seorang kader juga harus mencamkan bahwa spirit pencipta, pengabdi hendaknya menjadi salah satu bentuk ibadah bagi kader HMI diantara bentuk ibadah lain. Yakni mampu membuat orang lain merasa aman dan percaya bahwa selama mereka masih lantang bersuara saat turun aksi di jalan dan gedung wakil rakyat, maka perubahan bangsa ke arah yang lebih baik masih selalu terjaga dan terawat.
Dan seorang kader harus selalu mengingat, bahwa kualitas insan akademis jangan hanya sekedar tercitrakan lewat gelar akademik. Gelar yang label undangan pun terkadang terasa sesak menampung jumlah hurufnya. Namun sumbangsih pemikiran untuk kemajuan bangsa adalah hal wajib dari implementasi insan akademis itu sendiri.
Insan akademis tidak boleh hanya sebatas pencitraan. Sebab pencitraan itu kadang manipulatif. Kader HMI yang baik tak usah capek-capek mencitrakan diri. Sebab saat dia mampu membuat rakyat merasa dibela dan dijaga hak-haknya, serta disuarakan keluhannya, maka dengan otomatis citra baik akan tersanding dan tersandang dengan sendirinya. Dan seyogyanya setiap aksi kader aktif HMI merupakan respon jika terjadi ‘kebingungan’ dalam kehidupan politik suatu negara.
Setiap teriakan di megaphone harus menjadi tagihan kepada pejabat pemerintah di eksekutif, pejabat di legislatif maupun di yudikatif. Sebab sumpah jabatan mereka dan segala bentuk fasilitas termasuk gaji, itu semua bersumber dari pajak rakyat. Menjadi kewajiban untuk dibayarnya dengan pengabdian dengan sebenar-benarnya mengabdi. Tagihan kepada mereka harus mengembalikannya ke posisi berbentuk kesadaran untuk melayani kepentingan bangsa dan kemaslahatan rakyat Indonesia.
Setiap teriakan di megaphone harus menjadi tagihan kepada pejabat pemerintah di eksekutif, pejabat di legislatif maupun di yudikatif. Sebab sumpah jabatan mereka dan segala bentuk fasilitas termasuk gaji, itu semua bersumber dari pajak rakyat.
Menjadi kewajiban untuk dibayarnya dengan pengabdian dengan sebenar-benarnya mengabdi.
Tagihan kepada mereka harus mengembalikannya ke posisi berbentuk kesadaran untuk melayani kepentingan bangsa dan kemaslahatan rakyat Indonesia.
Nostalgia Dalam Kemasan
Masih terawat dalam memori tak sedikit kader-kader HMI, saat kebuntuan pertemuan “kanda dimana, Dinda di mana” maka mie instant dengan kuah lebih banyak, disupport garam dapur, akan menjadi solusi dadakan yang paling pas dalam temaramnya lampu kost.
Meskipun sedikit ironis, saat ini justru mie yang disudutkan oleh segelintir oknum reviewer berprofesi youtuber dengan ilmu yang kedalamnya masih dipertanyakan, dimana Mie Instant sering dibahas di berbagai tulisan maupun video singkat perihal kandungan berbahayanya.
Bisa jadi tak sedikit kader HMI yang satu suara berlatar memori baik pada nostalgia dalam kemasan.
Bahwa jika ada mantan aktivis yang mengaminkan bahaya mengkonsumsi mie instant, mereka justru adalah orang-orang yang tak tahu berterima kasih pada kemampuan mie Instant menyelesaikan situasi ‘darurat’ perut kosong karena keterlambatan kiriman dari kampung, selain terima kasih pertama yang terlupakan saat tak sedikitpun tersampaikan penghargaan kepada mie instant dalam ucapan terima kasih di skripsinya.
Sebagai catatan nostalfia penutup, bahwa di HMI lah kita diajarkan agar memiliki kemampuan hidup dengan menggunakan mesin kehidupan yang terletak pada otak dan rohaninya. Tetaplah istiqomah menjaga sejarah masa lalu walau dalam sebuah kalimat sederhana “kanda dimana, kita iya di manaki dinda”.
Sebab mungkin di situlah, kita terhubung antara perjuangan di masa lalu dengan cita-cita di masa kini dan esok.
78 Tahun Himpunan Mahasiswa Islam. Yakin Usaha Sampai. (*)