Sejauh Mana Negara Mampu Menghentikan Krisis Ekologis?

- Jurnalis

Selasa, 2 Desember 2025 - 19:29 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh : Aspiyandi (Alumni HMI Komisariat Hukum UNIASMAN)

TRISAKTINEWS.COM — Pertanyaan tentang kemauan negara untuk menghentikan krisis ekologis selalu berputar pada paradoks yang jarang dibicarakan secara jujur. Bagaimana mungkin lembaga yang turut membangun, menyuburkan, dan mempertahankan kerusakan ekologis secara sistematis tiba-tiba tampil sebagai penyelamatnya? Negara, dalam banyak konteks, bukan sekadar aktor yang kurang efektif. Ia adalah arsitek sekaligus penjaga struktur yang melahirkan kehancuran itu sendiri. Kerusakan bukanlah kecelakaan administratif, melainkan konsekuensi dari pilihan politik yang sengaja diambil

Krisis iklim, deforestasi, ekstraksi tambang, polusi industri, hingga ekosistem ruang hidup masyarakat adat tidak muncul karena kebetulan atau sekadar ketidaktahuan teknis. Hal-hal tersebut merupakan hasil dari model pembangunan negara yang mendorong: pembangunan yang menuntut percepatan, kepastian investasi, dan stabilitas politik bagi modal bahkan ketika itu berarti menggencet ruang hidup warga negara dan merusak ekosistem. Dalam logika seperti ini, kerusakan menjadi efek samping yang dinegosiasikan, diterima, bahkan dilegalkan. Negara rajin mengutip jargon keanekaragaman, sambil memelihara sistem yang cacat dan penuh antarmuka. Eksploitasi dikemas sebagai “pertumbuhan”, dan perampasan ruang hidup disamarkan sebagai “pembangunan”.

Ketika suatu negara berbicara tentang krisis ekologi yang terhenti, program yang ditampilkan biasanya sangat teknokratis. Penanaman jutaan bibit, pembangunan bendungan, revitalisasi sungai, atau proyek energi terbarukan yang tampak hijau namun sering menjadi pintu baru bagi konsesi lahan dan konflik sosial. Semua itu bekerja dalam kerangka yang sama, yaitu kerangka yang menganggap alam sebagai objek yang bisa dilalui melalui intervensi teknis, tanpa menyentuh akar masalah yang sebenarnya. Relasi kekuasaan yang timpang, ekstraktif ekonomi, dan struktur politik yang mengabdi pada modal kepentingan dibiarkan tetap kokoh. Negara tampil sebagai pahlawan, sambil terus memproduksi regulasi yang merusak perlindungan ekologi dan memperluas akses bagi perusahaan besar.

Yang jarang dibahas adalah sejauh mana negara mau atau mampu menghentikan kerusakan itu. Kemauan politik bukan hanya soal visi pemimpin, tetapi terutama soal keberanian untuk mengganggu tatanan yang menguntungkan elite ekonomi dan politik. Selama kekuasaan bergantung pada dukungan aktor-aktor pemmodal, negara nyaris mustahil melakukan pembalikan arah. Reformasi lingkungan yang terlalu “radikal”, misalnya izin izin penambangan, pemulihan hak masyarakat adat, atau persetujuan terhadap infrastruktur proyek yang merusak akan dianggap mengancam stabilitas ekonomi maupun iklim politik dan investasi. Akibatnya, negara lebih memilih menunda, meredam kritik, menambal sementara, atau sekadar mempercantik citra, ketimbang memutus akar kerusakan.

Baca Juga :  Filantropi Berisik

Namun paradoks lain muncul. Negara tidak bisa membiarkan sepenuhnya kerusakan berlangsung tanpa batas. Keruntuhan ekologis pada akhirnya akan merusak legitimasi politik, memicu konflik sosial, dan membebani anggaran publik. Pada kondisi ini, negara tampak seperti pemadam kebakaran yang sibuk mengeluarkan api dari rumah yang ia sendiri sirami bensin. Upaya penyelamatan yang dilakukan sering bersifat parsial, reaktif, dan tetap berada dalam batas aman. Tentu saja, termasuk batas yang tidak mengganggu aliran keuntungan dari sektor-sektor yang merusak.

Jika ditarik lebih jauh, kita akan menemukan bahwa krisis ekologis berkembang di pinggiran kota karena negara memonopoli keputusan atas ruang hidup. Ia menentukan mana hutan yang produktif, mana sungai yang strategis, mana wilayah adat yang legal, dan mana yang tidak. Keputusan-keputusan ini tidak pernah netral. Ia selalu berpihak pada kepentingan yang paling kuat dan paling dekat dengan pusat kekuasaan. Dalam konteks seperti ini, harapan bahwa negara akan menjadi pelindung lingkungan terasa ironis. Justru negara sering menjadi pihak pertama yang membuka pintu kehancuran.

Di tengah kemandekan negara, masyarakat sipil, komunitas lokal, masyarakat adat, kelompok ekologis, dan gerakan akar rumput mengambil peran yang jauh lebih transformatif. Mereka melakukan apa yang negara enggan lakukan: menjaga hutan tanpa izin resmi, menghentikan alat berat dengan tubuh mereka sendiri, memetakan wilayah adat ketika negara gagal, membangun sistem pangan kolektif yang tidak bergantung pada korporasi, hingga merawat sungai yang selama ini hanya dianggap sebagai saluran pembuangan. Gerakan-gerakan ini memberi bayangan masa depan, masa depan di mana keinginan bukan proyek branding , melainkan praktik hidup yang saling menjaga dan menguatkan.

Baca Juga :  Morowali Membelah Elite Republik

Dan sejujurnya, mereka bekerja tanpa protokol panjang, tanpa anggaran miliaran, tanpa rapat berulang. Mereka bekerja karena sadar bahwa ruang hidup tidak bisa menunggu birokrasi yang sibuk menimbang antara keuntungan dan keinginan. Keberanian itu lahir bukan dari mandat kekuasaan, tetapi dari kesadaran bahwa mempertahankan hidup adalah hak sekaligus kewajiban yang tak boleh ditunda-tunda.

Pertanyaannya kembali pada awal, sampai sejauh mana negara mampu dan mau menghentikan kerusakan yang ia pelihara sendiri? Jawabannya barangkali pahit. Sangat pahit. Negara hanya akan bergerak sejauh tekanan masyarakat sehingga tidak punya pilihan lain. Ia berubah bukan karena kesadaran moral, tetapi karena tuntutan yang datang dari bawah, dari wilayahnya yang dihancurkan, udaranya tercemar, hutannya ditebang, dan ruang hidupnya dirampas. Transformasi ekologis yang sejati hampir selalu lahir bukan dari pusat kekuasaan, tetapi dari masyarakat yang menolak persetujuan.

Jika demikian, mungkin tugas kita bukan lagi menunggu negara berubah, melainkan mengorganisir kekuatan yang dapat memaksa perubahan itu terjadi, atau membangun alternatif yang tidak bergantung pada negara sama sekali . Di titik ini, ekologi selalu bertemu politik, dan politik selalu bertemu keberanian untuk mengatakan bahwa kerusakan ini tidak netral, tidak alami, dan tidak akan berhenti dengan sendirinya. Ia harus dihentikan. Dan sering kali, negara bukan penyembuhnya, melainkan hambatan pertama yang harus kita hadapi dan, bila perlu, kita tinggalkan.

Editor : Admin Redaksi

Berita Terkait

Dorong Literasi Keuangan Syariah, OJK Luncurkan EPIKS di Pesantren Minhaajurrosyidiin
FajarPaper Salurkan Kursi Roda dan Mesin Pengolahan Sampah Organik untuk Dukung Program Sosial dan UMKM
Wabup Bone Hadiri Evaluasi Sekolah Rakyat Tahap II, Tegaskan Komitmen Percepatan Pembangunan
Wabup Bone Hadiri TPKAD Summit 2025, Dorong Penguatan Akses dan Inklusi Keuangan di Sulsel
Jawa Timur Capai 100 Persen Posbankum, Dorong Keadilan Restoratif Mulai dari Desa
Pengamat Kepolisian Apresiasi Pencopotan Kapolres Tuban: Bukti Kapolda Jatim Tegak Lurus dalam Penegakan Hukum
Atlet Bone, Muh Asrul Rafzanjani, Raih Juara 1 Kejurnas Jun Khamer dan Resmi Wakili Indonesia di Kejuaraan Dunia
Solidaritas Satu Cita Desak Sekdispora Jatim Dicopot, Tuduh Ada Pembiaran Pelanggaran Etik ASN
Tag :

Berita Terkait

Jumat, 12 Desember 2025 - 22:14 WITA

Dorong Literasi Keuangan Syariah, OJK Luncurkan EPIKS di Pesantren Minhaajurrosyidiin

Jumat, 12 Desember 2025 - 22:10 WITA

FajarPaper Salurkan Kursi Roda dan Mesin Pengolahan Sampah Organik untuk Dukung Program Sosial dan UMKM

Jumat, 12 Desember 2025 - 22:06 WITA

Wabup Bone Hadiri Evaluasi Sekolah Rakyat Tahap II, Tegaskan Komitmen Percepatan Pembangunan

Jumat, 12 Desember 2025 - 22:04 WITA

Wabup Bone Hadiri TPKAD Summit 2025, Dorong Penguatan Akses dan Inklusi Keuangan di Sulsel

Jumat, 12 Desember 2025 - 22:01 WITA

Jawa Timur Capai 100 Persen Posbankum, Dorong Keadilan Restoratif Mulai dari Desa

Berita Terbaru